Minggu, 20 Juli 2014

13 Ramadhan 1435 H

Malam ini beliau kesini lagi. Setelah kemarin-kemarin membawakan makanan setiap kali akan sahur, seperti seseorang yang tidak pernah lupa dengan peliharaannya yang sendirian di kandang, beliau menanyakan  hal yang sama. Oh tidak, kali ini aku tidak sendiri. Akhir malam sabtu ini aku  ditemani  Asri. Ha! Entah yang ke berapa kali aku menyebut namanya dalam coretan tanganku. Tapi memang begitu adanya. Dia salah seorang sahabat yang sangat dekat denganku. Sekian jam kami mengobrol ngalor ngidul, menghabiskan waktu berbuka dengan dengan beberapa makanan ringan juga soto ayam yang ku beli. Asik kami bergurau, seketika Apri datang. Dengan sekedar basa basi dia menanyakan kami sudah makan atau belum. Ah, dasar! Tidakkah dia melihat ruang tamuku begitu berantakan karena bekas makanan kami. Hahaha...

Ya. Kami bertiga memang akrab. Jauh sebelum orang-orang mengadakan buka bersama, di hari yang  ketiga belas bulan Ramadhan sekarang, entah sudah berapa kali kami sering makan berbarengan. Pemandangan yang  tidak aneh lagi di dalam rumah berukuran 3x9 meter persegi ini. Mungkin tetangga-tetangga ku juga sudah hapal dengan wajah mereka. Ya, wajah akrab temannya Dinda yang menyebalkan.  Menyebalkan karena memang kalau ke sini selalu berduan! Pfttttt

Pukul 20.30, handphone ku berdering. Mengalihkan perhatianku mencari sumber bunyinya. Muncul sebuah nama di layar “Babeh” beranjak kaki ku ke dapur meninggalkan dua bocah itu. Seperti biasa pertanyaannnya : “mau makan pakai apa?” “ah, apa sajalah, pak. Masakan apapun aku makan, asalkan tidak basi sampai dini hari nanti” “oke, baiklah” klik, telepon ku tutup.”Siapa?” Bapakmu?” Ya. Bapak keduaku. “Maksudnya?” Iya, beliau bapak kedua ku setelah orangtua kandungku. Maksudmu, paaak... Iya, beliau. Pak Lizran. Kenapa? Mmhh, tidak, hanya sedikit terkejut dengan ucapanmu barusan yang mengatakan beliau adalah bapakmu. Memangnya kenapa? Tidak boleh? Oh, bukan. Boleh saja. Tapi aku meragukan perhatian yang beliau berikan bukanlah sebagai seorang bapak kepada anaknya. Lalu apa? Apakah aku salah? Aku sudah menganggap beliau memang benar hanya sebagai seorang bapak , sebagai oranguaku. Apakah salah? ~hening

Pondok Betung, 11 Juli 2014