Selasa, 28 Juli 2015

Puisi Sang Kekasih

Ada rasa yang bergejolak dibalik hara
Ada rindu yang tersimpan dibalik senja
Entah, semua datang dengan sendirinya
Menguatkan benteng hati yang telah rapuh

Ruh ini serasa terbang dibuatnya
Nafas desah teratur menikmatinya
Rindu yang tertuju entah pada siapa
Belum tersingkap tabir penutupnya

Hati bertanya, pesona apa yang telah membakar jiwa
Menenggelamkan pada rindu di ujung samudera
Kepada siapa rindu ini berlabuh?
Rindu yang terus mendamaikan gundah
Dengan nada aroma ketulusan
Membuat raga terjun dalam kedamaian

Minggu, 12 Juli 2015

Ini Tentang Rasa Syukur

Entah kenapa, belakangan ini saya sering sekali terinspirasi dan kepikiran untuk membuat suatu tulisan yang diadopsi dari pengalaman dan history oranglain, yang saya rasa bagus untuk diceritakan kembali. 
Lagi-lagi, sesaat tadi sedang iseng membuka beranda fesbuk, saya melihat ada suatu judul catatan seseorang yang judulnya menarik sekali. Dan kali ini saya menulisnya kembali dengan judul yang sama. Nama pemilik akunnya adalah Fikriyah Winata. Seseorang yang saya kenal cukup baik ketika ikut bimbel dengan kakak sepupu di Depok. Saya sangat ingat sekali dulu kita pernah makan bersama di sebuah warung nasi goreng. Saya, Kak Ihsan, dan Kak Fik, Bercerita ini itu, berceloteh tentang apa saja kita bertiga di sana. Saya hanya sesekali mengangguk-angguk. Mungkin karena dulu memang terlalu polos dan tidak mengerti apa-apa tentang perkuliahan dan dunia kerja yang mana telah mereka alami saat itu... Tapi itu dulu, ya dulu. Ah, mungkin juga sekarang Kak Fik sudah lupa dengan wajah saya :)

Kembali ke topik pembicaraan, sebetulnya apa sih rasa syukur itu? Apakah sesuatu yang sakral sehingga kita membutuhkan persiapan diri yang matang untuk melakukannya atau sesuatu yang sangat mudah dilakukan dan tidak memakan banyak energi? Sepertinya mudah ya. Namun sebagian besar dari kita lebih memilih untuk tidak peduli :(
Ya, rasa syukur adalah saat kita merasa bahagia dan berterimakasih atas apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Apapun dan bagaimanapun bentuknya, jumlahnya, kualitasnya, tetapi kita 'bawaannya' happy terus dan ada sesuatu yang kadang tidak kita pahami, yang pasti kita merasa senang atas sesuatu yang diberikan-Nya. Rasa syukur tentu sangat jauh hubungannya dengan komplain, protes, apalagi mengeluh. Rasa syukur itu sangat sederhana, sesederhana saat kita tersenyum dan berkata dalam hati, "Terima kasih Allah..."

Bagaimana kita membiasakan diri dengan rasa syukur?
Sejujurnya saya pribadi baru mengenal dan merasakan kesyukuran itu saat saya lulus SMA. Dan motivasi saya sangat sederhana. Saya lelah dengan dengan protes, saya lelah dengan komplain, saya lelah dengan sesuatu yang saya ingin rasakan tetapi tidak pernah saya miliki. Saya capek! Saat duduk di bangku SMP dan SMA, saya sering sekali mudah terserang rasa cemburu, iri hati, dan rewel. Umur-umur dimana kita sudah mengenal realitas, mulai mengenal siapa diri kita, siapa orangtua kita, bagaimana lingkungan kita, dan bagaimana oranglain memperlakukan kita.

Saya pribadi sebenarnya adalah anak kampung yang secara lahiriah besar di ibukota. Bertahun-tahun punya kampung halaman, tapi tidak pernah mudik selama tinggal di Jakarta itu rasanya seperti tidak punya kampung. Bertahun-tahun pula tinggal di Jakarta, tapi hidup nomaden. Berpindah kontrakan sana sini, menetap di rumah Aba dan Mamak lalu kemudian mengontrak lagi. 
Dulu, semasa Bapak sedang berjaya dengan usaha warung nasinya, saya sekeluarga sering mendapat tumpuan hidup dari keluarga lain. Keluarga besar almarhum/ah kakek-nenek dari saudara bapak yang sekarang hidupnya sudah tak lagi akur karena sedikit kesalahpahaman pada waktu itu. Ya, sekarang sangat sedikit sekali saya merasakan mempunyai saudara. Saudara yang benar-benar tulus dan ikhlas tanpa rasa pamrih bisa selalu membantu tanpa perlu mengungkit-ungkit kebaikan yang dilakukannya.
Dulu pernah sewaktu SMP, saya seperti yang sudah bisa merasakan kesakit-hatian yang luar biasa terhadap keluarga bapak. Entah apa namanya, yang jelas saya merasakannya. Cibiran dan komentar-komentar negatif terhadap keluarga saya yang semakin menjadi-jadi membuat saya seakan terpuruk juga. Namun apa daya perlawanan seorang bocah ingusan yang omongannya hanya dianggap angin lalu oleh mereka. Jujur saya tidak tahan karena saya mendapatkannya hampir tiap hari. Setiap hari saya merasakannya. Pada saat puncaknya, pernah barang-barang saya dikeluarkan dari rumah Uwa, dan disuruh pergi saat itu juga yang sebelumnya saya tinggal di sana karena semua keluarga saya pindah ke kampung. Saat itu saya tinggal hanya beberapa bulan di sana sampai tiba waktunya kelulusan itu. Hancur lebur hati saya mendapat perlakuan seperti itu. Sampai-sampai saya protes ke Allah, "Ya Allah, kenapa sih hidup saya seperti ini? Kenapa Ya, Allah... "

Sampai pada saat saya ikut pindah ke Sukabumi, saya pun masih dilema dengan pendidikan saya. Ya Allah, apa saya masih mampu sekolah, sedangkan orangtua saja masih harus mencari kecukupan yang lain. Tapi entah kenapa ada saja jalan baiknya. Apih yang ternyata punya kenalan seorang Ketua Yayasan yang mengepalai Sekolah Menengah Atas berbasis Islam di sana. Berkat bantuan beliau lah saya bisa melanjutkan sekolah lagi. Walaupun saya akui, dengan almarhum Apih saya tidak terlalu dekat. Ada jarak yang seakan membentang jauh di antara kami para cucu dari anak-anak mama. Apih yang dulu sudah beristri lagi dengan oranglain semenjak Ummi meninggal, menjadi seperti asing bagi saya saat berada di kampung lagi. Entahlah, mungkin karena memang sudah lama saya tidak pernah ketemu dengan beliau. 
Setiap hari saya semakin terbiasa dengan kehidupan dan realita di kampung. Ke sekolah dengan menempuh jalan kaki walaupun jaraknya tidak dekat. Terbiasa mendengar cibiran orang-orang kampung yang sering bilang "Ngapain awewe sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya lari ke dapur juga" atau bahkan "Ah, kamu mah enak cucunya orang berada dan terpandang, jadi sekolah juga gratis..."
Seketika saya bergumam, tidakkah mereka tau Ya Allah, saya susah payah belajar supaya jadi orang berguna, orang yang tidak tertinggal dan terbelakang. Tidakkah mereka tau, saya susah payah bersaing dengan orang pribumi yang juga tidak kalah pintarnya untuk mendapatkan posisi teratas menjadi Juara Umum. Tidakkah mereka tau bahwa semua yang saya jalani itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, Ya Allah?

Hingga akhirnya tiga tahun berlalu, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri manapun, sementara teman-teman saya yang lain sudah dengan amannya menempati satu kursi PTN. Saya sempat frustasi dan protes sekali lagi. Kepala saya dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengapa dan kenapa.. "Mengapa sih, Allah.. dia gak pinter tapi masuk Unpad? atau "Kenapa sih Allah, dia biasa-biasa aja kok bisa masuk UI?" 
Sampai sekarang saya baru tersadar mengapa Allah memilihkan jalan ini untuk saya. Mungkin, andaikan saya diterima di ITB, otak saya tidak akan mampu untuk melampauinya. Atau mungkin, jika saya diterima di UI, saya tidak akan pernah bisa untuk membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga karena mau-tidakmau saya harus fokus kuliah. Terlebih, saya memang anak pertama yang pada prinsipnya harus bisa membantu meringankan biaya adik-adik sekolah. Dan karena memang saya tidak sepenuhnya mendapat restu orangtua untuk bisa langsung kuliah di manapun karena tuntutan mereka yang mengharuskan anaknya berkerja dulu selepas SMA.

Setelah sekian lama menjalaninya, berpindah-pindah kerja dari satu tempat ke tempat yang lain dan mengambil jurusan kuliah yang tidak relevan dengan basic saya sebelumnya, saya menjadi semakin mengerti alur hidup saya. Bahkan ketika saya iseng stalking profile teman-teman semasa sekolah dulu, saya sudah tidak lagi merasa down. Saya lelah, hidup saya terlalu dipenuhi oleh rasa iri kepada oranglain, rasa cemburu yang tidak pernah bisa sembuh, rasa entahlah saya harus mengatakan dan membahasaknnya seperti apa, yang pasti saya ingin seperti mereka. Saya ingin mempunyai kehidupan layaknya anak-anak lainnya yang saya tidak pernah punya itu. Entah kenapa, saat ini saya menjadi semakin ditunjukan kepada teman-teman yang juga banyak mengajarkan saya tentang rasa syukur. Tapi memang, semua itu tidak pernah mudah. Saat kita sedang menuju ke arah yang lebih baik, pasti akan selalu ada rintangan, halangan, dan ujian. Tapi percayalah, "Allah hanya menguji manusia di titiklemahnya." Jika kita bisa melewati itu, Allah akan berikan kita kesulitan yang lebih sulit, untuk mengukur dan menguji bahwa kita pantas "naik kelas". Saat itu, saya mulai sedikit-sedikit mengenal dan mempelajari bagaimana kita bisa menerima apa yang Allah berikan kepada kita. Sesuatu yang terkadang beyond our expectation. Kita mau A, tetapi dikasih B. Kita marah, kita protes, lalu setelah itu malu karena ternyata B itu lebih baik dari A. Udah capek-capek protes, tapi ujung-ujungnya malah suka B... Tapi percayalah, bahwa melatih rasa syukur itu sama halnya dengan melatih diri kita untuk berbuat baik. Saya setuju, tapi berbuat baik itu kalau tidak dibiasakan juga tidak akan menjadi kebiasaan. Semua perlu dilatih, berbuat baik mempelajari bagaimana mengenal rasa syukur. Berbuat baik dan rasa syukur bukan dua hal yang serta merta datang kepada kita dan melengkapi hidup kita. Tidak! Kedua hal ini adalah sesuatu yang harus selalu kita latih. Sehingga menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Dan percaya atau tidak, rasa syukur itu nagih. Selain nagih juga membuat kita bawaannya hepi ajah. Hepi dengan apa yang kita miliki, hepi dengan apa yang kita punya, hepi dengan segala tanggungjawab kita meskipun sangat melelahkan. Entah kenapa, itu seperti automatically terjadi. Saya mulai melatih diri saya untuk mengenal lebih jauh dan mempelajari rasa syukur lebih dalam mulai sekarang karena banyak sekali khasiat positif di dalamnya.

Sekali lagi, mengenal rasa syukur untuk membiasakannya itu perlu dilatih. Kenapa? Karena setiap hari kita selalu mempunyai alasan untuk komplain, kita selalu punya alasan untuk protes ini itu. Sekarang tinggal kita pilih, kita mau komplain, kita mau marah-marah, mau protes dan lainnya atau berhenti dari sekarang dan mulai belajar mensyukurinya. Lagian itu capek tauk! Ngabisin tenaga tapi tidak mengubah sesuatu. Kita hanya perlu membiasakan diri dengan rasa syukur. Dan selalu mengingat bahwa semakin kita mensyukuri pemberian Allah, maka Allah akan senang untuk terus memberikan kita lebih dan lebih. Tapi kalau kita protes terus, dikasih A protes, dikasih B protes, ya Allah juga males. Coba saja bayangkan, kita memberikan sesuatu sesuatu kepada si A, eh si A malah protes. Bagaimana perasaan kita? Jangankan mau ngasih, sebel iya. Nah, coba kalau Allah kasih kita, tapi kita malah protes, Allah pasti males memberikan kita lebih. Tapi jika kita hepi terus dengan segala pemberian Allah, ingat saja Allah akan memberikan sesuatu yang lebih. Allah akan semakin semangat menambah keberkahan untuk kita. Kalau tahun ini gaji, THR, dll turun menjadi hanya setengahnya dibandingkan tahun lalu, ya mau diapain lagi. Mungkin rezeki kita memang segitu. Mungkin jika dapetnya banyak, malah jadi boros dan lainnya. Eh
Tapi jangan sampai itu membuat kita menjadi lupa bersyukur. Mulai belajar untuk minta dicukupkan, berapapun rezeki yang diminta. Cukup untuk beli barang yang diinginkan, cukup untuk bersedekah, sukup untuk membantu orangtua dan keluarga, cukup untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri, cukup untuk jalan-jalan dan beli tiketnya. Hehehe... 
Dan akhirnya, bukan tentang berapa banyak harta yang kita miliki, barang-barang mewah yang kita miliki, tapi seberapa besar kedekatan kita kepada Allah yang membuat kita selalu merasa cukup dan salahsatunya dengan bersyukur atas segala sesuatu yang kita miliki.

Kak Fik bilang, cukup dengan biasakan dirimu untuk coba menulis tentang apa saja yang menjadi kebahagianmu selama seharian penuh. Me-record hal-hal apa saja yang patut disyukuri. Sekecil apapun itu. 


Ini contoh bagaimana saya menuliskan 10 hal dihari ini yang menurut saya patut disyukuri.
Kalau ini tulisannya Kak Fik, saya baru mau coba hari ini. Hehe...


Sekali lagi, "Jangan-jangan kita tidak pernah kekurangan apapun, jangan-jangan kita hanya kekurangan rasa syukur."

Untuk orang-orang yang tidak pernah lelah mensyukuri segala nikmatNya, orang-orang yang berusaha mensyukuri nikmatNya, dan orang-orang yang akan segera mensyukuri nikmatNya...

Selasa, 07 Juli 2015

Karena kita tidak pernah seratus persen gagal

Sebagai manusia kita tidak pernah luput dari yang namanya permintaan dan doa. Karena kedua hal tersebut sebagai bukti betapa kita lemah dihadapan-Nya dan betapa kita menyadari bahwa ada kekuatan yang selalu membantu kita, kekuatan yang begitu dekat bahkan lebih dekat daripada urat nadi kita sendiri. Yaitu Dia dan pertolongan-Nya. Begitu juga dengan saya dan Anda. Kita selalu mempunyai banyak hal yang kita minta. Dari permintaan yang masuk akal maupun permintaan yang terkadang memaksa, hingga permintaan yang terdengar sangat konyol. Tapi sejujurnya, hanya kepada-Nya kita berani seterbuka itu. Hanya dalam pertemuan dahi dengan sajadah kita merasa begitu pasrah. Begitupun saya, terkadang saya malu kepada-Nya. Saya malu tatkala saya meminta begitu banyak hal, begitu banyak permintaan. Tetapi itulah yang terkadang menjadi hal yang sangat menarik. Sejak kecil saya mendidik diri saya untuk tidak merepotkan orangtua saya, mengurangi permintaan kepada Mama, men-celengi koin-koin receh hasil berjualan es mambo dan agar-agar di sekolah, menabung lembaran-lembaran uang seribuan yang kadang di-persenkan (diberi uang oleh keluarga--extended family) dari Mamang (baca : Paman) atau Uwa (baca : Pakde) yang pulang dari Kota. Saya selalu memilih untuk menadahkan kedua tangan dan berkata setiap habis solat "Ya Allah, saya mau beli tas dan sepatu baru untuk sekolah ajaran baru. Cukupkan tabungan saya ya Allah.." daripada meminta kedua benda tersebut kepada Mama yang bisa saja membelikannya, seperti Mama membelikan barang tersebut untuk Adik saya. Tapi saya tidak memilih hal sesederhana meminta, karena ada hal besar yang bernama berusaha. Begitu seterusnya sampai saya lupa bahwa saya mungkin sudah lulus kelas kemandirian yang saya sendiri buat. Dan tentu saja, keyakinan bahwa meminta saja kepada sang pemilik segalanya. Tidak usah ragu, tidak usah malu.

Tahun demi tahun, percaya atau tidak permintaan kita menjadi semakin kompleks. Saya yang dulu hanya meminta tas dan sepatu baru dimana 'percakapan' saya dengan-Nya mungkin tidak sampai lima menit kini percakapan-percakapan itu menjadi lebih panjang. Ada banyak sekali yang kita minta. Dan kita semakin menjadi terang-terangan. Pada umur saya sebelum 22 tahun saya tidak pernah mengucapkan dan meminta sebuah permintaan tertentu karena saya merasa belum pantas untuk menerima 'hadiah' sebesar itu. Dan juga ada beberapa permintaan yang menurut saya baru-baru ini saja sering terucap. Misalnya, saya mengajukan permintaan agar beberapa sikap dan karakter saya yang kurang baik dapat saya ubah. Terlepas dari saya tidak pernah ambil pusing dengan pendapat orang tentang saya, sayapun sedikit-sedikit mengubah sikap-sikap yang memang harus diubah dan diperbaiki. Saya sadar, kita tidak bisa berubah seperti menggigit cabai, begitu digigit terasa pedasnya. Perubahan itu membutuhkan waktu dan pencapaian. Tapi percayalah, proses menjadi lebih baik akan selalu menyenangkan. Dan berterimakasihlah kepada orang yang telah berkata jujur akan sikap-sikap kurang baik yang ada pada diri kita.

Sekali lagi kita tidak pernah luput dari permintaan. Tapi apa kita pernah gagal? Apa semua permintaan kita diberikan dengan segera. Tentu tidak. Nah inilah yang kedua yang saya katakan bahwa Tuhan memberikan tawaran untuk menunda permintaan kita dan memberikannya nanti ketika kita sudah pantas. Kebanyakan dari kita, begitu juga dengan saya kita lebih senang menyebutnya gagal. Kegagalan itu konotasinya sangat negatif. Dimana-mana yang namanya gagal ya sakit. Gagal mendapatkan pekerjaan yang diimpikan, gagal menjalin hubungan serius, gagal test ujian kelulusan, gagal diterima di sekolah yang diidamkan dan lainnya. Tapi apakah kita tahu bahwa kita tidak pernah seratus persen gagal dan Tuhan tidak pernah seratus persen mencabut mimpi kita. Coba diingat-ingat kapan terakhir kita gagal? Coba dilihat lagi sedikit saja ke belakang, sedikit saja bahwa gagal itu hanya ada ketika kita berusaha maksimal namun belum mencapai target kita, bukan? Kata kuncinya apa? "Berusaha". Gagal itu hanya ada ketika kita berusaha. Pernah tidak kita tidak berusaha, tidak ngapa-ngapain tahu-tahu gagal? Tidak pernah kan? Itu artinya apa? Kegagalan itu adalah sebuah pertanda bahwa kita diberikan kesempatan untuk "lebih". Lebih apa? Orang gagal kok! Orang sedih kok? Orang jatuh kok? Lah.. contohnya saja jatuh, kapan kita merasa jatuh? Saat kita ingin menuju tempat yang lebih tinggi. Kalau di tempat yang datar-datar saja apa kita pernah jatuh. Tentu tidak. Begitu juga dengan gagal. Sama. Kita hanya akan gagal ketika kita berusaha. Artinya apa? Gagal adalah bagian dari usaha, bagian dari proses yang harus dilewati. Coba tengok lagi ke belakang, apakah dari seratus usaha kita semuanya gagal? Tidak, pasti ada satu yang berhasil, atau minimal mendekati berhasil. Sekali lagi, kita tidak pernah seratus persen gagal. Misalnya kita gagal mendapatkan pekerjaan yang kita impikan dan bekerja ditempat kerja kita saat ini, ketahuilah bahwa di situlah Tuhan menitipkan rezeki kita, dan di situ pulalah Tuhan mercayai kita bahwa value kita akan lebih bernilai. Atau misalnya kita gagal membangun hubungan yang serius dengan seseorang yang menurut kita baik, kita tidak sepenuhnya gagal juga. Mungkin kegagalan kita akan membuat kita memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri, dan memantaskannya. Mungkin juga kita gagal diterima disekolah impian kita atau bahwa gagal diterima sekolah cadangan kita, lagi-lagi kita diberikan kesempatan untuk memantaskan diri. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas kita.

Sekali lagi, manusia tidak pernah dihadapkan pada kondisi seratus persen gagal. Manusia hanya diberikan kesempatan untuk berbuat lebih dan berpikir lebih jauh.

Selamat sore dan selamat menunggu berbuka.

Terinspirasi dari catatan seorang teman,
(Fikriyah Winata)

Senin, 06 Juli 2015

Dari kelas lab audit, sampai D'cost Rawamangun

Gak kerasa udah masuk hari ke 19 bulan Ramadhan di 2015 Masehi ini. Hari dimana yang namanya Hari Raya Idul Fitri udah tinggal menghitung jari. Yaa, sebentar lagi terminal sesak dengan penumpang dari dalam maupun luar kota, bandara jadi sumpek, dan stasiun tak ubahnya seperti lautan manusia. Hari dimana sebentar lagi Jakarta sepi karena ditinggal mudik penduduknya. Hari dimana Jakarta gak macet. Hari dimana para bocah berasa jadi bos, karena kerja kagak, dapet duit iya. Hari dimana orang-orang saling minta maaf, sambil nanya 'kapan nikah" Halah...

Ini sebenernya mau nyeritain apa? Hahaha...

Oke gaes, sekian lama gak temu kangen cerita serantal seruntul kayak semut disco, kali ini gw bakal ngablu lagi di blog kesayangan inih. Dari pada puasa gw cuma bengang bengong, ya mending gw tsurhat ajah. Gapapa lah ya, sekalian ngilangin suntuk. 

So, sampai mau masuk hari kesepuluh terakhir puasa, udah berapa kali kalian diajakin atau ngadain bukber? Jangan sampe judulnya buka bersama, tapi datengnya sendirian ya. Wkwkwk

Jadi ceritanya kemaren itu kita buka bersama. Cie, buka bersama... Yang ngajak hidup bersama ada gak? *kemudian ditimpuk*
Yap, kemaren baru aja gw mengadakan buka bersama dengan temen-temen sekelas Lab Auditing semester kemarin yang bertempat di D'Cost Rawamangun, daerah Jakarta Timur deket terminal sinian dikit. Sekian lama kuliah sampe galau nungguin SK rektor turun udah bisa skripsi apa belom, baru kali ini gw ikutan buka puasa bersama ala anak kuliahan. Kok bisa? Ya bisalah. Wong kampus kita ajaib. Ketemu temen cuma saat-saat tertentu, itupun hanya 8x pertemuan alias 2 bulan saja. 
Setelah hasil pengumuman UAS yang nilainya bikin pusing 10 keliling karena kebanyakan salahnya, kita (baca : grup alay) berinisiatif buat mengadakan buka puasa bersama. Hitung-hitung melepas rindu dan kaku, karena sudah lama tak bertemu. Huhuhu

Singkat cerita, kita yang awalnya bersepuluh tergabung dalam satu kesatuan tanah air kelas Lab Auditing yang dipelopori oleh dosen tercinta, gw dan teman-teman lainnya yang sudah sangat akrab dan dekat berkat Instant Messenger yang bernama Wasap, kemarin sore sepakat untuk melepas penat. Di suatu siang yang lekat dan jalanan yang padat, sedari jam 2 sudah bersiap-siap. Emang dasar rumah gw jauh, plus prediksi kedatangan kereta yang sering tidak akurat, maka gw antisipasi untuk datang tidak telat...
Alih-alih sampai tekape bisa langsung kebagian tempat, dari luar malah terlihat antrian yang sudah merayap. Well, setelah usaha kesana kesini cari alternatif lain.. akhirnya dengan bermodal nekat, gw minjem spanduk buat jadi alas beristirohat. Ya, spanduk KFC sodara-sodara... 


Yah, begitulah kita. Sudah lelah, tapi tetap begairah. Tiada hari tanpa selfie. Tiada hari tanpa cengcengan, tiada hari tanpa ketawa ketiwi, tiada hari tanpa basa basi.
Yaaa walaupun kita harusnya ada sepuluh orang, tapi di situ masih teteup kurang empat karena yang dua itu adalah tamu tak diundang. Eh... 

Akhirnya setelah berbuka puasa di lesehan ceria, kita masih harus menunggu antri lagi di tempat semula. Sambil menunggu, kita memilih berwudhu. Sambil mengantri shalat magrib atau sekedar mengetwit...
Emang dasar terlampaui sabar, sampe udah masuk waktu Isya pun belum tanda-tanda akan dapet antrian, kita masih tetap menunggu hingga mereka kelar. Setengah jam terlewati lagi... 
Fix setengah delapan malam, kita baru dapet meja. Setelah duduk rapi di kursi, tiada aktivitas lain yang patut dikerjakan selain selfie. Duuh, berasa orang apalah-apalah. So, inilah kita dengan tampang kekusutannya...





Maybe some people going to coming, going to going, going to staying. But i'm hoping they're going to keep staying. Long last, guys! Semoga kekompakan selalu menyertai kita :')