Minggu, 12 Juli 2015

Ini Tentang Rasa Syukur

Entah kenapa, belakangan ini saya sering sekali terinspirasi dan kepikiran untuk membuat suatu tulisan yang diadopsi dari pengalaman dan history oranglain, yang saya rasa bagus untuk diceritakan kembali. 
Lagi-lagi, sesaat tadi sedang iseng membuka beranda fesbuk, saya melihat ada suatu judul catatan seseorang yang judulnya menarik sekali. Dan kali ini saya menulisnya kembali dengan judul yang sama. Nama pemilik akunnya adalah Fikriyah Winata. Seseorang yang saya kenal cukup baik ketika ikut bimbel dengan kakak sepupu di Depok. Saya sangat ingat sekali dulu kita pernah makan bersama di sebuah warung nasi goreng. Saya, Kak Ihsan, dan Kak Fik, Bercerita ini itu, berceloteh tentang apa saja kita bertiga di sana. Saya hanya sesekali mengangguk-angguk. Mungkin karena dulu memang terlalu polos dan tidak mengerti apa-apa tentang perkuliahan dan dunia kerja yang mana telah mereka alami saat itu... Tapi itu dulu, ya dulu. Ah, mungkin juga sekarang Kak Fik sudah lupa dengan wajah saya :)

Kembali ke topik pembicaraan, sebetulnya apa sih rasa syukur itu? Apakah sesuatu yang sakral sehingga kita membutuhkan persiapan diri yang matang untuk melakukannya atau sesuatu yang sangat mudah dilakukan dan tidak memakan banyak energi? Sepertinya mudah ya. Namun sebagian besar dari kita lebih memilih untuk tidak peduli :(
Ya, rasa syukur adalah saat kita merasa bahagia dan berterimakasih atas apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Apapun dan bagaimanapun bentuknya, jumlahnya, kualitasnya, tetapi kita 'bawaannya' happy terus dan ada sesuatu yang kadang tidak kita pahami, yang pasti kita merasa senang atas sesuatu yang diberikan-Nya. Rasa syukur tentu sangat jauh hubungannya dengan komplain, protes, apalagi mengeluh. Rasa syukur itu sangat sederhana, sesederhana saat kita tersenyum dan berkata dalam hati, "Terima kasih Allah..."

Bagaimana kita membiasakan diri dengan rasa syukur?
Sejujurnya saya pribadi baru mengenal dan merasakan kesyukuran itu saat saya lulus SMA. Dan motivasi saya sangat sederhana. Saya lelah dengan dengan protes, saya lelah dengan komplain, saya lelah dengan sesuatu yang saya ingin rasakan tetapi tidak pernah saya miliki. Saya capek! Saat duduk di bangku SMP dan SMA, saya sering sekali mudah terserang rasa cemburu, iri hati, dan rewel. Umur-umur dimana kita sudah mengenal realitas, mulai mengenal siapa diri kita, siapa orangtua kita, bagaimana lingkungan kita, dan bagaimana oranglain memperlakukan kita.

Saya pribadi sebenarnya adalah anak kampung yang secara lahiriah besar di ibukota. Bertahun-tahun punya kampung halaman, tapi tidak pernah mudik selama tinggal di Jakarta itu rasanya seperti tidak punya kampung. Bertahun-tahun pula tinggal di Jakarta, tapi hidup nomaden. Berpindah kontrakan sana sini, menetap di rumah Aba dan Mamak lalu kemudian mengontrak lagi. 
Dulu, semasa Bapak sedang berjaya dengan usaha warung nasinya, saya sekeluarga sering mendapat tumpuan hidup dari keluarga lain. Keluarga besar almarhum/ah kakek-nenek dari saudara bapak yang sekarang hidupnya sudah tak lagi akur karena sedikit kesalahpahaman pada waktu itu. Ya, sekarang sangat sedikit sekali saya merasakan mempunyai saudara. Saudara yang benar-benar tulus dan ikhlas tanpa rasa pamrih bisa selalu membantu tanpa perlu mengungkit-ungkit kebaikan yang dilakukannya.
Dulu pernah sewaktu SMP, saya seperti yang sudah bisa merasakan kesakit-hatian yang luar biasa terhadap keluarga bapak. Entah apa namanya, yang jelas saya merasakannya. Cibiran dan komentar-komentar negatif terhadap keluarga saya yang semakin menjadi-jadi membuat saya seakan terpuruk juga. Namun apa daya perlawanan seorang bocah ingusan yang omongannya hanya dianggap angin lalu oleh mereka. Jujur saya tidak tahan karena saya mendapatkannya hampir tiap hari. Setiap hari saya merasakannya. Pada saat puncaknya, pernah barang-barang saya dikeluarkan dari rumah Uwa, dan disuruh pergi saat itu juga yang sebelumnya saya tinggal di sana karena semua keluarga saya pindah ke kampung. Saat itu saya tinggal hanya beberapa bulan di sana sampai tiba waktunya kelulusan itu. Hancur lebur hati saya mendapat perlakuan seperti itu. Sampai-sampai saya protes ke Allah, "Ya Allah, kenapa sih hidup saya seperti ini? Kenapa Ya, Allah... "

Sampai pada saat saya ikut pindah ke Sukabumi, saya pun masih dilema dengan pendidikan saya. Ya Allah, apa saya masih mampu sekolah, sedangkan orangtua saja masih harus mencari kecukupan yang lain. Tapi entah kenapa ada saja jalan baiknya. Apih yang ternyata punya kenalan seorang Ketua Yayasan yang mengepalai Sekolah Menengah Atas berbasis Islam di sana. Berkat bantuan beliau lah saya bisa melanjutkan sekolah lagi. Walaupun saya akui, dengan almarhum Apih saya tidak terlalu dekat. Ada jarak yang seakan membentang jauh di antara kami para cucu dari anak-anak mama. Apih yang dulu sudah beristri lagi dengan oranglain semenjak Ummi meninggal, menjadi seperti asing bagi saya saat berada di kampung lagi. Entahlah, mungkin karena memang sudah lama saya tidak pernah ketemu dengan beliau. 
Setiap hari saya semakin terbiasa dengan kehidupan dan realita di kampung. Ke sekolah dengan menempuh jalan kaki walaupun jaraknya tidak dekat. Terbiasa mendengar cibiran orang-orang kampung yang sering bilang "Ngapain awewe sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya lari ke dapur juga" atau bahkan "Ah, kamu mah enak cucunya orang berada dan terpandang, jadi sekolah juga gratis..."
Seketika saya bergumam, tidakkah mereka tau Ya Allah, saya susah payah belajar supaya jadi orang berguna, orang yang tidak tertinggal dan terbelakang. Tidakkah mereka tau, saya susah payah bersaing dengan orang pribumi yang juga tidak kalah pintarnya untuk mendapatkan posisi teratas menjadi Juara Umum. Tidakkah mereka tau bahwa semua yang saya jalani itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, Ya Allah?

Hingga akhirnya tiga tahun berlalu, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri manapun, sementara teman-teman saya yang lain sudah dengan amannya menempati satu kursi PTN. Saya sempat frustasi dan protes sekali lagi. Kepala saya dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengapa dan kenapa.. "Mengapa sih, Allah.. dia gak pinter tapi masuk Unpad? atau "Kenapa sih Allah, dia biasa-biasa aja kok bisa masuk UI?" 
Sampai sekarang saya baru tersadar mengapa Allah memilihkan jalan ini untuk saya. Mungkin, andaikan saya diterima di ITB, otak saya tidak akan mampu untuk melampauinya. Atau mungkin, jika saya diterima di UI, saya tidak akan pernah bisa untuk membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga karena mau-tidakmau saya harus fokus kuliah. Terlebih, saya memang anak pertama yang pada prinsipnya harus bisa membantu meringankan biaya adik-adik sekolah. Dan karena memang saya tidak sepenuhnya mendapat restu orangtua untuk bisa langsung kuliah di manapun karena tuntutan mereka yang mengharuskan anaknya berkerja dulu selepas SMA.

Setelah sekian lama menjalaninya, berpindah-pindah kerja dari satu tempat ke tempat yang lain dan mengambil jurusan kuliah yang tidak relevan dengan basic saya sebelumnya, saya menjadi semakin mengerti alur hidup saya. Bahkan ketika saya iseng stalking profile teman-teman semasa sekolah dulu, saya sudah tidak lagi merasa down. Saya lelah, hidup saya terlalu dipenuhi oleh rasa iri kepada oranglain, rasa cemburu yang tidak pernah bisa sembuh, rasa entahlah saya harus mengatakan dan membahasaknnya seperti apa, yang pasti saya ingin seperti mereka. Saya ingin mempunyai kehidupan layaknya anak-anak lainnya yang saya tidak pernah punya itu. Entah kenapa, saat ini saya menjadi semakin ditunjukan kepada teman-teman yang juga banyak mengajarkan saya tentang rasa syukur. Tapi memang, semua itu tidak pernah mudah. Saat kita sedang menuju ke arah yang lebih baik, pasti akan selalu ada rintangan, halangan, dan ujian. Tapi percayalah, "Allah hanya menguji manusia di titiklemahnya." Jika kita bisa melewati itu, Allah akan berikan kita kesulitan yang lebih sulit, untuk mengukur dan menguji bahwa kita pantas "naik kelas". Saat itu, saya mulai sedikit-sedikit mengenal dan mempelajari bagaimana kita bisa menerima apa yang Allah berikan kepada kita. Sesuatu yang terkadang beyond our expectation. Kita mau A, tetapi dikasih B. Kita marah, kita protes, lalu setelah itu malu karena ternyata B itu lebih baik dari A. Udah capek-capek protes, tapi ujung-ujungnya malah suka B... Tapi percayalah, bahwa melatih rasa syukur itu sama halnya dengan melatih diri kita untuk berbuat baik. Saya setuju, tapi berbuat baik itu kalau tidak dibiasakan juga tidak akan menjadi kebiasaan. Semua perlu dilatih, berbuat baik mempelajari bagaimana mengenal rasa syukur. Berbuat baik dan rasa syukur bukan dua hal yang serta merta datang kepada kita dan melengkapi hidup kita. Tidak! Kedua hal ini adalah sesuatu yang harus selalu kita latih. Sehingga menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Dan percaya atau tidak, rasa syukur itu nagih. Selain nagih juga membuat kita bawaannya hepi ajah. Hepi dengan apa yang kita miliki, hepi dengan apa yang kita punya, hepi dengan segala tanggungjawab kita meskipun sangat melelahkan. Entah kenapa, itu seperti automatically terjadi. Saya mulai melatih diri saya untuk mengenal lebih jauh dan mempelajari rasa syukur lebih dalam mulai sekarang karena banyak sekali khasiat positif di dalamnya.

Sekali lagi, mengenal rasa syukur untuk membiasakannya itu perlu dilatih. Kenapa? Karena setiap hari kita selalu mempunyai alasan untuk komplain, kita selalu punya alasan untuk protes ini itu. Sekarang tinggal kita pilih, kita mau komplain, kita mau marah-marah, mau protes dan lainnya atau berhenti dari sekarang dan mulai belajar mensyukurinya. Lagian itu capek tauk! Ngabisin tenaga tapi tidak mengubah sesuatu. Kita hanya perlu membiasakan diri dengan rasa syukur. Dan selalu mengingat bahwa semakin kita mensyukuri pemberian Allah, maka Allah akan senang untuk terus memberikan kita lebih dan lebih. Tapi kalau kita protes terus, dikasih A protes, dikasih B protes, ya Allah juga males. Coba saja bayangkan, kita memberikan sesuatu sesuatu kepada si A, eh si A malah protes. Bagaimana perasaan kita? Jangankan mau ngasih, sebel iya. Nah, coba kalau Allah kasih kita, tapi kita malah protes, Allah pasti males memberikan kita lebih. Tapi jika kita hepi terus dengan segala pemberian Allah, ingat saja Allah akan memberikan sesuatu yang lebih. Allah akan semakin semangat menambah keberkahan untuk kita. Kalau tahun ini gaji, THR, dll turun menjadi hanya setengahnya dibandingkan tahun lalu, ya mau diapain lagi. Mungkin rezeki kita memang segitu. Mungkin jika dapetnya banyak, malah jadi boros dan lainnya. Eh
Tapi jangan sampai itu membuat kita menjadi lupa bersyukur. Mulai belajar untuk minta dicukupkan, berapapun rezeki yang diminta. Cukup untuk beli barang yang diinginkan, cukup untuk bersedekah, sukup untuk membantu orangtua dan keluarga, cukup untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri, cukup untuk jalan-jalan dan beli tiketnya. Hehehe... 
Dan akhirnya, bukan tentang berapa banyak harta yang kita miliki, barang-barang mewah yang kita miliki, tapi seberapa besar kedekatan kita kepada Allah yang membuat kita selalu merasa cukup dan salahsatunya dengan bersyukur atas segala sesuatu yang kita miliki.

Kak Fik bilang, cukup dengan biasakan dirimu untuk coba menulis tentang apa saja yang menjadi kebahagianmu selama seharian penuh. Me-record hal-hal apa saja yang patut disyukuri. Sekecil apapun itu. 


Ini contoh bagaimana saya menuliskan 10 hal dihari ini yang menurut saya patut disyukuri.
Kalau ini tulisannya Kak Fik, saya baru mau coba hari ini. Hehe...


Sekali lagi, "Jangan-jangan kita tidak pernah kekurangan apapun, jangan-jangan kita hanya kekurangan rasa syukur."

Untuk orang-orang yang tidak pernah lelah mensyukuri segala nikmatNya, orang-orang yang berusaha mensyukuri nikmatNya, dan orang-orang yang akan segera mensyukuri nikmatNya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar