Dua dekade lebih aku hidup. Apa yang bisa dibanggakan dari diri ini?
Terlalu banyak asam manis pahit kehidupan yang dirasa sampai titik jenuh ini seperti sudah tak bisa dibendung lagi. Entah mengapa aku merasa seperti tulisan di atas kertas usang yang terlampau lama disimpan, penuh dengan hiasan debu. Sulit rasanya menjadi aku dengan segala kekurangan...
Tahun ini mungkin akan menjadi salah satu tahun terberat yang aku alami. Bagaimana tidak? Hampir sebulan menganggur dengan tidak memiliki income, jujur sangat membuatku stres berat. Terbiasa berkesibukan setiap hari lambat laun semakin berkurang intensitasnya. Ya, mungkin karena aku ini seseorang yang tidak bisa 'diam'.
Seketika aku berpikir demikian, namun kau membuka pikiranku malam ini dengan ucapan "nikmatilah hari kosongmu.. suatu saat kamu akan ada dimana masa mu tak bisa selapang ini"
Aku tersenyum dalam hanyutan tetes mata air dan detik jarum jam.
Ya, aku harus meyakininya : tak ada yang kebetulan.
Ku tutup mataku perlahan dengan hentakan nafas sesaat. Berharap esok akan lebih baik🌷
Dan Tuhan ciptakan pagi, agar kita selalu mengingat bahwa setiap gelap pasti berganti terang... begitupun sedihmu :')
Rabu, 23 Desember 2015
Tak ada yang kebetulan
Selasa, 17 November 2015
Tweet Mainstream
Entah kenapa gue gatel banget pengen mention dua krucil ini. Gemes banget sumpah. Kangen pengen ngumpul bareng lagi, cerita-cerita seru lagi, ngetrip lagi. Aaaah banyak deh. Tapi di sisi lain gue galau juga karena lagi bokek. Hahaha. Gue sih tau mereka lagi sibuk. Yang satu lagi berjuang sama skripsinya, satunya lagi sibuk olshop-an (maksudnya punya toko online).
Dan pada akhirnya, berawal dari mention itulah percakapan kita bertiga sampai mengarah ke pernyataan termainstream kalau temen udah lama gak sering jalan itu seakan-akan ---> SIBUK PACARAN! LOL
Jujur makin gemes gue. Wkwk. Yaaa sebenernya gak gitu juga sih ya. FYI kemaren memang sempet vakum dari dunia per-hangout-an bahkan per-blog-an dikarenakan gue sibuk skripsian. Tsaaaah.
Emang dasar momentnya berbarengan, jadi dilihatnya cuma pacaran. Hikshiks
Sekarang badai telah berlalu. Ujian demi ujian dan revisian sampai juga di ujung jalan dan tinggal menunggu harapan. Semoga hasilnya memuaskan.
Well, kalau kata Kak Fik hidup itu perpindahan dari satu takdir ke takdir yang lain. Dari satu fase ke fase lain, dari perasaaan ke perasaan lain. Sedih senang adalah dua sisi mata uang yang tidak pernah bertemu tetapi selalu beriringan. Yang penting bagaimana kita menyikapi setiap takdir yang disiapkan untuk kita.
Yuk guys, kumpul lagi tanpa gengsi! :)
Minggu, 15 November 2015
One day full happiness
Selasa, 28 Juli 2015
Puisi Sang Kekasih
Ada rasa yang bergejolak dibalik hara
Ada rindu yang tersimpan dibalik senja
Entah, semua datang dengan sendirinya
Menguatkan benteng hati yang telah rapuh
Ruh ini serasa terbang dibuatnya
Nafas desah teratur menikmatinya
Rindu yang tertuju entah pada siapa
Belum tersingkap tabir penutupnya
Hati bertanya, pesona apa yang telah membakar jiwa
Menenggelamkan pada rindu di ujung samudera
Kepada siapa rindu ini berlabuh?
Rindu yang terus mendamaikan gundah
Dengan nada aroma ketulusan
Membuat raga terjun dalam kedamaian
Ada rindu yang tersimpan dibalik senja
Entah, semua datang dengan sendirinya
Menguatkan benteng hati yang telah rapuh
Ruh ini serasa terbang dibuatnya
Nafas desah teratur menikmatinya
Rindu yang tertuju entah pada siapa
Belum tersingkap tabir penutupnya
Hati bertanya, pesona apa yang telah membakar jiwa
Menenggelamkan pada rindu di ujung samudera
Kepada siapa rindu ini berlabuh?
Rindu yang terus mendamaikan gundah
Dengan nada aroma ketulusan
Membuat raga terjun dalam kedamaian
Minggu, 12 Juli 2015
Ini Tentang Rasa Syukur
Entah kenapa, belakangan ini saya sering sekali terinspirasi dan kepikiran untuk membuat suatu tulisan yang diadopsi dari pengalaman dan history oranglain, yang saya rasa bagus untuk diceritakan kembali.
Lagi-lagi, sesaat tadi sedang iseng membuka beranda fesbuk, saya melihat ada suatu judul catatan seseorang yang judulnya menarik sekali. Dan kali ini saya menulisnya kembali dengan judul yang sama. Nama pemilik akunnya adalah Fikriyah Winata. Seseorang yang saya kenal cukup baik ketika ikut bimbel dengan kakak sepupu di Depok. Saya sangat ingat sekali dulu kita pernah makan bersama di sebuah warung nasi goreng. Saya, Kak Ihsan, dan Kak Fik, Bercerita ini itu, berceloteh tentang apa saja kita bertiga di sana. Saya hanya sesekali mengangguk-angguk. Mungkin karena dulu memang terlalu polos dan tidak mengerti apa-apa tentang perkuliahan dan dunia kerja yang mana telah mereka alami saat itu... Tapi itu dulu, ya dulu. Ah, mungkin juga sekarang Kak Fik sudah lupa dengan wajah saya :)
Kembali ke topik pembicaraan, sebetulnya apa sih rasa syukur itu? Apakah sesuatu yang sakral sehingga kita membutuhkan persiapan diri yang matang untuk melakukannya atau sesuatu yang sangat mudah dilakukan dan tidak memakan banyak energi? Sepertinya mudah ya. Namun sebagian besar dari kita lebih memilih untuk tidak peduli :(
Ya, rasa syukur adalah saat kita merasa bahagia dan berterimakasih atas apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Apapun dan bagaimanapun bentuknya, jumlahnya, kualitasnya, tetapi kita 'bawaannya' happy terus dan ada sesuatu yang kadang tidak kita pahami, yang pasti kita merasa senang atas sesuatu yang diberikan-Nya. Rasa syukur tentu sangat jauh hubungannya dengan komplain, protes, apalagi mengeluh. Rasa syukur itu sangat sederhana, sesederhana saat kita tersenyum dan berkata dalam hati, "Terima kasih Allah..."
Bagaimana kita membiasakan diri dengan rasa syukur?
Sejujurnya saya pribadi baru mengenal dan merasakan kesyukuran itu saat saya lulus SMA. Dan motivasi saya sangat sederhana. Saya lelah dengan dengan protes, saya lelah dengan komplain, saya lelah dengan sesuatu yang saya ingin rasakan tetapi tidak pernah saya miliki. Saya capek! Saat duduk di bangku SMP dan SMA, saya sering sekali mudah terserang rasa cemburu, iri hati, dan rewel. Umur-umur dimana kita sudah mengenal realitas, mulai mengenal siapa diri kita, siapa orangtua kita, bagaimana lingkungan kita, dan bagaimana oranglain memperlakukan kita.
Saya pribadi sebenarnya adalah anak kampung yang secara lahiriah besar di ibukota. Bertahun-tahun punya kampung halaman, tapi tidak pernah mudik selama tinggal di Jakarta itu rasanya seperti tidak punya kampung. Bertahun-tahun pula tinggal di Jakarta, tapi hidup nomaden. Berpindah kontrakan sana sini, menetap di rumah Aba dan Mamak lalu kemudian mengontrak lagi.
Dulu, semasa Bapak sedang berjaya dengan usaha warung nasinya, saya sekeluarga sering mendapat tumpuan hidup dari keluarga lain. Keluarga besar almarhum/ah kakek-nenek dari saudara bapak yang sekarang hidupnya sudah tak lagi akur karena sedikit kesalahpahaman pada waktu itu. Ya, sekarang sangat sedikit sekali saya merasakan mempunyai saudara. Saudara yang benar-benar tulus dan ikhlas tanpa rasa pamrih bisa selalu membantu tanpa perlu mengungkit-ungkit kebaikan yang dilakukannya.
Dulu pernah sewaktu SMP, saya seperti yang sudah bisa merasakan kesakit-hatian yang luar biasa terhadap keluarga bapak. Entah apa namanya, yang jelas saya merasakannya. Cibiran dan komentar-komentar negatif terhadap keluarga saya yang semakin menjadi-jadi membuat saya seakan terpuruk juga. Namun apa daya perlawanan seorang bocah ingusan yang omongannya hanya dianggap angin lalu oleh mereka. Jujur saya tidak tahan karena saya mendapatkannya hampir tiap hari. Setiap hari saya merasakannya. Pada saat puncaknya, pernah barang-barang saya dikeluarkan dari rumah Uwa, dan disuruh pergi saat itu juga yang sebelumnya saya tinggal di sana karena semua keluarga saya pindah ke kampung. Saat itu saya tinggal hanya beberapa bulan di sana sampai tiba waktunya kelulusan itu. Hancur lebur hati saya mendapat perlakuan seperti itu. Sampai-sampai saya protes ke Allah, "Ya Allah, kenapa sih hidup saya seperti ini? Kenapa Ya, Allah... "
Sampai pada saat saya ikut pindah ke Sukabumi, saya pun masih dilema dengan pendidikan saya. Ya Allah, apa saya masih mampu sekolah, sedangkan orangtua saja masih harus mencari kecukupan yang lain. Tapi entah kenapa ada saja jalan baiknya. Apih yang ternyata punya kenalan seorang Ketua Yayasan yang mengepalai Sekolah Menengah Atas berbasis Islam di sana. Berkat bantuan beliau lah saya bisa melanjutkan sekolah lagi. Walaupun saya akui, dengan almarhum Apih saya tidak terlalu dekat. Ada jarak yang seakan membentang jauh di antara kami para cucu dari anak-anak mama. Apih yang dulu sudah beristri lagi dengan oranglain semenjak Ummi meninggal, menjadi seperti asing bagi saya saat berada di kampung lagi. Entahlah, mungkin karena memang sudah lama saya tidak pernah ketemu dengan beliau.
Setiap hari saya semakin terbiasa dengan kehidupan dan realita di kampung. Ke sekolah dengan menempuh jalan kaki walaupun jaraknya tidak dekat. Terbiasa mendengar cibiran orang-orang kampung yang sering bilang "Ngapain awewe sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya lari ke dapur juga" atau bahkan "Ah, kamu mah enak cucunya orang berada dan terpandang, jadi sekolah juga gratis..."
Seketika saya bergumam, tidakkah mereka tau Ya Allah, saya susah payah belajar supaya jadi orang berguna, orang yang tidak tertinggal dan terbelakang. Tidakkah mereka tau, saya susah payah bersaing dengan orang pribumi yang juga tidak kalah pintarnya untuk mendapatkan posisi teratas menjadi Juara Umum. Tidakkah mereka tau bahwa semua yang saya jalani itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, Ya Allah?
Hingga akhirnya tiga tahun berlalu, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri manapun, sementara teman-teman saya yang lain sudah dengan amannya menempati satu kursi PTN. Saya sempat frustasi dan protes sekali lagi. Kepala saya dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengapa dan kenapa.. "Mengapa sih, Allah.. dia gak pinter tapi masuk Unpad? atau "Kenapa sih Allah, dia biasa-biasa aja kok bisa masuk UI?"
Sampai sekarang saya baru tersadar mengapa Allah memilihkan jalan ini untuk saya. Mungkin, andaikan saya diterima di ITB, otak saya tidak akan mampu untuk melampauinya. Atau mungkin, jika saya diterima di UI, saya tidak akan pernah bisa untuk membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga karena mau-tidakmau saya harus fokus kuliah. Terlebih, saya memang anak pertama yang pada prinsipnya harus bisa membantu meringankan biaya adik-adik sekolah. Dan karena memang saya tidak sepenuhnya mendapat restu orangtua untuk bisa langsung kuliah di manapun karena tuntutan mereka yang mengharuskan anaknya berkerja dulu selepas SMA.
Setelah sekian lama menjalaninya, berpindah-pindah kerja dari satu tempat ke tempat yang lain dan mengambil jurusan kuliah yang tidak relevan dengan basic saya sebelumnya, saya menjadi semakin mengerti alur hidup saya. Bahkan ketika saya iseng stalking profile teman-teman semasa sekolah dulu, saya sudah tidak lagi merasa down. Saya lelah, hidup saya terlalu dipenuhi oleh rasa iri kepada oranglain, rasa cemburu yang tidak pernah bisa sembuh, rasa entahlah saya harus mengatakan dan membahasaknnya seperti apa, yang pasti saya ingin seperti mereka. Saya ingin mempunyai kehidupan layaknya anak-anak lainnya yang saya tidak pernah punya itu. Entah kenapa, saat ini saya menjadi semakin ditunjukan kepada teman-teman yang juga banyak mengajarkan saya tentang rasa syukur. Tapi memang, semua itu tidak pernah mudah. Saat kita sedang menuju ke arah yang lebih baik, pasti akan selalu ada rintangan, halangan, dan ujian. Tapi percayalah, "Allah hanya menguji manusia di titiklemahnya." Jika kita bisa melewati itu, Allah akan berikan kita kesulitan yang lebih sulit, untuk mengukur dan menguji bahwa kita pantas "naik kelas". Saat itu, saya mulai sedikit-sedikit mengenal dan mempelajari bagaimana kita bisa menerima apa yang Allah berikan kepada kita. Sesuatu yang terkadang beyond our expectation. Kita mau A, tetapi dikasih B. Kita marah, kita protes, lalu setelah itu malu karena ternyata B itu lebih baik dari A. Udah capek-capek protes, tapi ujung-ujungnya malah suka B... Tapi percayalah, bahwa melatih rasa syukur itu sama halnya dengan melatih diri kita untuk berbuat baik. Saya setuju, tapi berbuat baik itu kalau tidak dibiasakan juga tidak akan menjadi kebiasaan. Semua perlu dilatih, berbuat baik mempelajari bagaimana mengenal rasa syukur. Berbuat baik dan rasa syukur bukan dua hal yang serta merta datang kepada kita dan melengkapi hidup kita. Tidak! Kedua hal ini adalah sesuatu yang harus selalu kita latih. Sehingga menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Dan percaya atau tidak, rasa syukur itu nagih. Selain nagih juga membuat kita bawaannya hepi ajah. Hepi dengan apa yang kita miliki, hepi dengan apa yang kita punya, hepi dengan segala tanggungjawab kita meskipun sangat melelahkan. Entah kenapa, itu seperti automatically terjadi. Saya mulai melatih diri saya untuk mengenal lebih jauh dan mempelajari rasa syukur lebih dalam mulai sekarang karena banyak sekali khasiat positif di dalamnya.
Sekali lagi, mengenal rasa syukur untuk membiasakannya itu perlu dilatih. Kenapa? Karena setiap hari kita selalu mempunyai alasan untuk komplain, kita selalu punya alasan untuk protes ini itu. Sekarang tinggal kita pilih, kita mau komplain, kita mau marah-marah, mau protes dan lainnya atau berhenti dari sekarang dan mulai belajar mensyukurinya. Lagian itu capek tauk! Ngabisin tenaga tapi tidak mengubah sesuatu. Kita hanya perlu membiasakan diri dengan rasa syukur. Dan selalu mengingat bahwa semakin kita mensyukuri pemberian Allah, maka Allah akan senang untuk terus memberikan kita lebih dan lebih. Tapi kalau kita protes terus, dikasih A protes, dikasih B protes, ya Allah juga males. Coba saja bayangkan, kita memberikan sesuatu sesuatu kepada si A, eh si A malah protes. Bagaimana perasaan kita? Jangankan mau ngasih, sebel iya. Nah, coba kalau Allah kasih kita, tapi kita malah protes, Allah pasti males memberikan kita lebih. Tapi jika kita hepi terus dengan segala pemberian Allah, ingat saja Allah akan memberikan sesuatu yang lebih. Allah akan semakin semangat menambah keberkahan untuk kita. Kalau tahun ini gaji, THR, dll turun menjadi hanya setengahnya dibandingkan tahun lalu, ya mau diapain lagi. Mungkin rezeki kita memang segitu. Mungkin jika dapetnya banyak, malah jadi boros dan lainnya. Eh
Tapi jangan sampai itu membuat kita menjadi lupa bersyukur. Mulai belajar untuk minta dicukupkan, berapapun rezeki yang diminta. Cukup untuk beli barang yang diinginkan, cukup untuk bersedekah, sukup untuk membantu orangtua dan keluarga, cukup untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri, cukup untuk jalan-jalan dan beli tiketnya. Hehehe...
Dan akhirnya, bukan tentang berapa banyak harta yang kita miliki, barang-barang mewah yang kita miliki, tapi seberapa besar kedekatan kita kepada Allah yang membuat kita selalu merasa cukup dan salahsatunya dengan bersyukur atas segala sesuatu yang kita miliki.
Kak Fik bilang, cukup dengan biasakan dirimu untuk coba menulis tentang apa saja yang menjadi kebahagianmu selama seharian penuh. Me-record hal-hal apa saja yang patut disyukuri. Sekecil apapun itu.
Sekali lagi, "Jangan-jangan kita tidak pernah kekurangan apapun, jangan-jangan kita hanya kekurangan rasa syukur."
Untuk orang-orang yang tidak pernah lelah mensyukuri segala nikmatNya, orang-orang yang berusaha mensyukuri nikmatNya, dan orang-orang yang akan segera mensyukuri nikmatNya...
Lagi-lagi, sesaat tadi sedang iseng membuka beranda fesbuk, saya melihat ada suatu judul catatan seseorang yang judulnya menarik sekali. Dan kali ini saya menulisnya kembali dengan judul yang sama. Nama pemilik akunnya adalah Fikriyah Winata. Seseorang yang saya kenal cukup baik ketika ikut bimbel dengan kakak sepupu di Depok. Saya sangat ingat sekali dulu kita pernah makan bersama di sebuah warung nasi goreng. Saya, Kak Ihsan, dan Kak Fik, Bercerita ini itu, berceloteh tentang apa saja kita bertiga di sana. Saya hanya sesekali mengangguk-angguk. Mungkin karena dulu memang terlalu polos dan tidak mengerti apa-apa tentang perkuliahan dan dunia kerja yang mana telah mereka alami saat itu... Tapi itu dulu, ya dulu. Ah, mungkin juga sekarang Kak Fik sudah lupa dengan wajah saya :)
Kembali ke topik pembicaraan, sebetulnya apa sih rasa syukur itu? Apakah sesuatu yang sakral sehingga kita membutuhkan persiapan diri yang matang untuk melakukannya atau sesuatu yang sangat mudah dilakukan dan tidak memakan banyak energi? Sepertinya mudah ya. Namun sebagian besar dari kita lebih memilih untuk tidak peduli :(
Ya, rasa syukur adalah saat kita merasa bahagia dan berterimakasih atas apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Apapun dan bagaimanapun bentuknya, jumlahnya, kualitasnya, tetapi kita 'bawaannya' happy terus dan ada sesuatu yang kadang tidak kita pahami, yang pasti kita merasa senang atas sesuatu yang diberikan-Nya. Rasa syukur tentu sangat jauh hubungannya dengan komplain, protes, apalagi mengeluh. Rasa syukur itu sangat sederhana, sesederhana saat kita tersenyum dan berkata dalam hati, "Terima kasih Allah..."
Bagaimana kita membiasakan diri dengan rasa syukur?
Sejujurnya saya pribadi baru mengenal dan merasakan kesyukuran itu saat saya lulus SMA. Dan motivasi saya sangat sederhana. Saya lelah dengan dengan protes, saya lelah dengan komplain, saya lelah dengan sesuatu yang saya ingin rasakan tetapi tidak pernah saya miliki. Saya capek! Saat duduk di bangku SMP dan SMA, saya sering sekali mudah terserang rasa cemburu, iri hati, dan rewel. Umur-umur dimana kita sudah mengenal realitas, mulai mengenal siapa diri kita, siapa orangtua kita, bagaimana lingkungan kita, dan bagaimana oranglain memperlakukan kita.
Saya pribadi sebenarnya adalah anak kampung yang secara lahiriah besar di ibukota. Bertahun-tahun punya kampung halaman, tapi tidak pernah mudik selama tinggal di Jakarta itu rasanya seperti tidak punya kampung. Bertahun-tahun pula tinggal di Jakarta, tapi hidup nomaden. Berpindah kontrakan sana sini, menetap di rumah Aba dan Mamak lalu kemudian mengontrak lagi.
Dulu, semasa Bapak sedang berjaya dengan usaha warung nasinya, saya sekeluarga sering mendapat tumpuan hidup dari keluarga lain. Keluarga besar almarhum/ah kakek-nenek dari saudara bapak yang sekarang hidupnya sudah tak lagi akur karena sedikit kesalahpahaman pada waktu itu. Ya, sekarang sangat sedikit sekali saya merasakan mempunyai saudara. Saudara yang benar-benar tulus dan ikhlas tanpa rasa pamrih bisa selalu membantu tanpa perlu mengungkit-ungkit kebaikan yang dilakukannya.
Dulu pernah sewaktu SMP, saya seperti yang sudah bisa merasakan kesakit-hatian yang luar biasa terhadap keluarga bapak. Entah apa namanya, yang jelas saya merasakannya. Cibiran dan komentar-komentar negatif terhadap keluarga saya yang semakin menjadi-jadi membuat saya seakan terpuruk juga. Namun apa daya perlawanan seorang bocah ingusan yang omongannya hanya dianggap angin lalu oleh mereka. Jujur saya tidak tahan karena saya mendapatkannya hampir tiap hari. Setiap hari saya merasakannya. Pada saat puncaknya, pernah barang-barang saya dikeluarkan dari rumah Uwa, dan disuruh pergi saat itu juga yang sebelumnya saya tinggal di sana karena semua keluarga saya pindah ke kampung. Saat itu saya tinggal hanya beberapa bulan di sana sampai tiba waktunya kelulusan itu. Hancur lebur hati saya mendapat perlakuan seperti itu. Sampai-sampai saya protes ke Allah, "Ya Allah, kenapa sih hidup saya seperti ini? Kenapa Ya, Allah... "
Sampai pada saat saya ikut pindah ke Sukabumi, saya pun masih dilema dengan pendidikan saya. Ya Allah, apa saya masih mampu sekolah, sedangkan orangtua saja masih harus mencari kecukupan yang lain. Tapi entah kenapa ada saja jalan baiknya. Apih yang ternyata punya kenalan seorang Ketua Yayasan yang mengepalai Sekolah Menengah Atas berbasis Islam di sana. Berkat bantuan beliau lah saya bisa melanjutkan sekolah lagi. Walaupun saya akui, dengan almarhum Apih saya tidak terlalu dekat. Ada jarak yang seakan membentang jauh di antara kami para cucu dari anak-anak mama. Apih yang dulu sudah beristri lagi dengan oranglain semenjak Ummi meninggal, menjadi seperti asing bagi saya saat berada di kampung lagi. Entahlah, mungkin karena memang sudah lama saya tidak pernah ketemu dengan beliau.
Setiap hari saya semakin terbiasa dengan kehidupan dan realita di kampung. Ke sekolah dengan menempuh jalan kaki walaupun jaraknya tidak dekat. Terbiasa mendengar cibiran orang-orang kampung yang sering bilang "Ngapain awewe sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya lari ke dapur juga" atau bahkan "Ah, kamu mah enak cucunya orang berada dan terpandang, jadi sekolah juga gratis..."
Seketika saya bergumam, tidakkah mereka tau Ya Allah, saya susah payah belajar supaya jadi orang berguna, orang yang tidak tertinggal dan terbelakang. Tidakkah mereka tau, saya susah payah bersaing dengan orang pribumi yang juga tidak kalah pintarnya untuk mendapatkan posisi teratas menjadi Juara Umum. Tidakkah mereka tau bahwa semua yang saya jalani itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, Ya Allah?
Hingga akhirnya tiga tahun berlalu, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri manapun, sementara teman-teman saya yang lain sudah dengan amannya menempati satu kursi PTN. Saya sempat frustasi dan protes sekali lagi. Kepala saya dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengapa dan kenapa.. "Mengapa sih, Allah.. dia gak pinter tapi masuk Unpad? atau "Kenapa sih Allah, dia biasa-biasa aja kok bisa masuk UI?"
Sampai sekarang saya baru tersadar mengapa Allah memilihkan jalan ini untuk saya. Mungkin, andaikan saya diterima di ITB, otak saya tidak akan mampu untuk melampauinya. Atau mungkin, jika saya diterima di UI, saya tidak akan pernah bisa untuk membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga karena mau-tidakmau saya harus fokus kuliah. Terlebih, saya memang anak pertama yang pada prinsipnya harus bisa membantu meringankan biaya adik-adik sekolah. Dan karena memang saya tidak sepenuhnya mendapat restu orangtua untuk bisa langsung kuliah di manapun karena tuntutan mereka yang mengharuskan anaknya berkerja dulu selepas SMA.
Setelah sekian lama menjalaninya, berpindah-pindah kerja dari satu tempat ke tempat yang lain dan mengambil jurusan kuliah yang tidak relevan dengan basic saya sebelumnya, saya menjadi semakin mengerti alur hidup saya. Bahkan ketika saya iseng stalking profile teman-teman semasa sekolah dulu, saya sudah tidak lagi merasa down. Saya lelah, hidup saya terlalu dipenuhi oleh rasa iri kepada oranglain, rasa cemburu yang tidak pernah bisa sembuh, rasa entahlah saya harus mengatakan dan membahasaknnya seperti apa, yang pasti saya ingin seperti mereka. Saya ingin mempunyai kehidupan layaknya anak-anak lainnya yang saya tidak pernah punya itu. Entah kenapa, saat ini saya menjadi semakin ditunjukan kepada teman-teman yang juga banyak mengajarkan saya tentang rasa syukur. Tapi memang, semua itu tidak pernah mudah. Saat kita sedang menuju ke arah yang lebih baik, pasti akan selalu ada rintangan, halangan, dan ujian. Tapi percayalah, "Allah hanya menguji manusia di titiklemahnya." Jika kita bisa melewati itu, Allah akan berikan kita kesulitan yang lebih sulit, untuk mengukur dan menguji bahwa kita pantas "naik kelas". Saat itu, saya mulai sedikit-sedikit mengenal dan mempelajari bagaimana kita bisa menerima apa yang Allah berikan kepada kita. Sesuatu yang terkadang beyond our expectation. Kita mau A, tetapi dikasih B. Kita marah, kita protes, lalu setelah itu malu karena ternyata B itu lebih baik dari A. Udah capek-capek protes, tapi ujung-ujungnya malah suka B... Tapi percayalah, bahwa melatih rasa syukur itu sama halnya dengan melatih diri kita untuk berbuat baik. Saya setuju, tapi berbuat baik itu kalau tidak dibiasakan juga tidak akan menjadi kebiasaan. Semua perlu dilatih, berbuat baik mempelajari bagaimana mengenal rasa syukur. Berbuat baik dan rasa syukur bukan dua hal yang serta merta datang kepada kita dan melengkapi hidup kita. Tidak! Kedua hal ini adalah sesuatu yang harus selalu kita latih. Sehingga menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Dan percaya atau tidak, rasa syukur itu nagih. Selain nagih juga membuat kita bawaannya hepi ajah. Hepi dengan apa yang kita miliki, hepi dengan apa yang kita punya, hepi dengan segala tanggungjawab kita meskipun sangat melelahkan. Entah kenapa, itu seperti automatically terjadi. Saya mulai melatih diri saya untuk mengenal lebih jauh dan mempelajari rasa syukur lebih dalam mulai sekarang karena banyak sekali khasiat positif di dalamnya.
Sekali lagi, mengenal rasa syukur untuk membiasakannya itu perlu dilatih. Kenapa? Karena setiap hari kita selalu mempunyai alasan untuk komplain, kita selalu punya alasan untuk protes ini itu. Sekarang tinggal kita pilih, kita mau komplain, kita mau marah-marah, mau protes dan lainnya atau berhenti dari sekarang dan mulai belajar mensyukurinya. Lagian itu capek tauk! Ngabisin tenaga tapi tidak mengubah sesuatu. Kita hanya perlu membiasakan diri dengan rasa syukur. Dan selalu mengingat bahwa semakin kita mensyukuri pemberian Allah, maka Allah akan senang untuk terus memberikan kita lebih dan lebih. Tapi kalau kita protes terus, dikasih A protes, dikasih B protes, ya Allah juga males. Coba saja bayangkan, kita memberikan sesuatu sesuatu kepada si A, eh si A malah protes. Bagaimana perasaan kita? Jangankan mau ngasih, sebel iya. Nah, coba kalau Allah kasih kita, tapi kita malah protes, Allah pasti males memberikan kita lebih. Tapi jika kita hepi terus dengan segala pemberian Allah, ingat saja Allah akan memberikan sesuatu yang lebih. Allah akan semakin semangat menambah keberkahan untuk kita. Kalau tahun ini gaji, THR, dll turun menjadi hanya setengahnya dibandingkan tahun lalu, ya mau diapain lagi. Mungkin rezeki kita memang segitu. Mungkin jika dapetnya banyak, malah jadi boros dan lainnya. Eh
Tapi jangan sampai itu membuat kita menjadi lupa bersyukur. Mulai belajar untuk minta dicukupkan, berapapun rezeki yang diminta. Cukup untuk beli barang yang diinginkan, cukup untuk bersedekah, sukup untuk membantu orangtua dan keluarga, cukup untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri, cukup untuk jalan-jalan dan beli tiketnya. Hehehe...
Dan akhirnya, bukan tentang berapa banyak harta yang kita miliki, barang-barang mewah yang kita miliki, tapi seberapa besar kedekatan kita kepada Allah yang membuat kita selalu merasa cukup dan salahsatunya dengan bersyukur atas segala sesuatu yang kita miliki.
Kak Fik bilang, cukup dengan biasakan dirimu untuk coba menulis tentang apa saja yang menjadi kebahagianmu selama seharian penuh. Me-record hal-hal apa saja yang patut disyukuri. Sekecil apapun itu.
![]() |
| Kalau ini tulisannya Kak Fik, saya baru mau coba hari ini. Hehe... |
Sekali lagi, "Jangan-jangan kita tidak pernah kekurangan apapun, jangan-jangan kita hanya kekurangan rasa syukur."
Untuk orang-orang yang tidak pernah lelah mensyukuri segala nikmatNya, orang-orang yang berusaha mensyukuri nikmatNya, dan orang-orang yang akan segera mensyukuri nikmatNya...
Selasa, 07 Juli 2015
Karena kita tidak pernah seratus persen gagal
Sebagai manusia kita tidak pernah luput dari yang namanya permintaan dan doa. Karena kedua hal tersebut sebagai bukti betapa kita lemah dihadapan-Nya dan betapa kita menyadari bahwa ada kekuatan yang selalu membantu kita, kekuatan yang begitu dekat bahkan lebih dekat daripada urat nadi kita sendiri. Yaitu Dia dan pertolongan-Nya. Begitu juga dengan saya dan Anda. Kita selalu mempunyai banyak hal yang kita minta. Dari permintaan yang masuk akal maupun permintaan yang terkadang memaksa, hingga permintaan yang terdengar sangat konyol. Tapi sejujurnya, hanya kepada-Nya kita berani seterbuka itu. Hanya dalam pertemuan dahi dengan sajadah kita merasa begitu pasrah. Begitupun saya, terkadang saya malu kepada-Nya. Saya malu tatkala saya meminta begitu banyak hal, begitu banyak permintaan. Tetapi itulah yang terkadang menjadi hal yang sangat menarik. Sejak kecil saya mendidik diri saya untuk tidak merepotkan orangtua saya, mengurangi permintaan kepada Mama, men-celengi koin-koin receh hasil berjualan es mambo dan agar-agar di sekolah, menabung lembaran-lembaran uang seribuan yang kadang di-persenkan (diberi uang oleh keluarga--extended family) dari Mamang (baca : Paman) atau Uwa (baca : Pakde) yang pulang dari Kota. Saya selalu memilih untuk menadahkan kedua tangan dan berkata setiap habis solat "Ya Allah, saya mau beli tas dan sepatu baru untuk sekolah ajaran baru. Cukupkan tabungan saya ya Allah.." daripada meminta kedua benda tersebut kepada Mama yang bisa saja membelikannya, seperti Mama membelikan barang tersebut untuk Adik saya. Tapi saya tidak memilih hal sesederhana meminta, karena ada hal besar yang bernama berusaha. Begitu seterusnya sampai saya lupa bahwa saya mungkin sudah lulus kelas kemandirian yang saya sendiri buat. Dan tentu saja, keyakinan bahwa meminta saja kepada sang pemilik segalanya. Tidak usah ragu, tidak usah malu.
Tahun demi tahun, percaya atau tidak permintaan kita menjadi semakin kompleks. Saya yang dulu hanya meminta tas dan sepatu baru dimana 'percakapan' saya dengan-Nya mungkin tidak sampai lima menit kini percakapan-percakapan itu menjadi lebih panjang. Ada banyak sekali yang kita minta. Dan kita semakin menjadi terang-terangan. Pada umur saya sebelum 22 tahun saya tidak pernah mengucapkan dan meminta sebuah permintaan tertentu karena saya merasa belum pantas untuk menerima 'hadiah' sebesar itu. Dan juga ada beberapa permintaan yang menurut saya baru-baru ini saja sering terucap. Misalnya, saya mengajukan permintaan agar beberapa sikap dan karakter saya yang kurang baik dapat saya ubah. Terlepas dari saya tidak pernah ambil pusing dengan pendapat orang tentang saya, sayapun sedikit-sedikit mengubah sikap-sikap yang memang harus diubah dan diperbaiki. Saya sadar, kita tidak bisa berubah seperti menggigit cabai, begitu digigit terasa pedasnya. Perubahan itu membutuhkan waktu dan pencapaian. Tapi percayalah, proses menjadi lebih baik akan selalu menyenangkan. Dan berterimakasihlah kepada orang yang telah berkata jujur akan sikap-sikap kurang baik yang ada pada diri kita.
Sekali lagi kita tidak pernah luput dari permintaan. Tapi apa kita pernah gagal? Apa semua permintaan kita diberikan dengan segera. Tentu tidak. Nah inilah yang kedua yang saya katakan bahwa Tuhan memberikan tawaran untuk menunda permintaan kita dan memberikannya nanti ketika kita sudah pantas. Kebanyakan dari kita, begitu juga dengan saya kita lebih senang menyebutnya gagal. Kegagalan itu konotasinya sangat negatif. Dimana-mana yang namanya gagal ya sakit. Gagal mendapatkan pekerjaan yang diimpikan, gagal menjalin hubungan serius, gagal test ujian kelulusan, gagal diterima di sekolah yang diidamkan dan lainnya. Tapi apakah kita tahu bahwa kita tidak pernah seratus persen gagal dan Tuhan tidak pernah seratus persen mencabut mimpi kita. Coba diingat-ingat kapan terakhir kita gagal? Coba dilihat lagi sedikit saja ke belakang, sedikit saja bahwa gagal itu hanya ada ketika kita berusaha maksimal namun belum mencapai target kita, bukan? Kata kuncinya apa? "Berusaha". Gagal itu hanya ada ketika kita berusaha. Pernah tidak kita tidak berusaha, tidak ngapa-ngapain tahu-tahu gagal? Tidak pernah kan? Itu artinya apa? Kegagalan itu adalah sebuah pertanda bahwa kita diberikan kesempatan untuk "lebih". Lebih apa? Orang gagal kok! Orang sedih kok? Orang jatuh kok? Lah.. contohnya saja jatuh, kapan kita merasa jatuh? Saat kita ingin menuju tempat yang lebih tinggi. Kalau di tempat yang datar-datar saja apa kita pernah jatuh. Tentu tidak. Begitu juga dengan gagal. Sama. Kita hanya akan gagal ketika kita berusaha. Artinya apa? Gagal adalah bagian dari usaha, bagian dari proses yang harus dilewati. Coba tengok lagi ke belakang, apakah dari seratus usaha kita semuanya gagal? Tidak, pasti ada satu yang berhasil, atau minimal mendekati berhasil. Sekali lagi, kita tidak pernah seratus persen gagal. Misalnya kita gagal mendapatkan pekerjaan yang kita impikan dan bekerja ditempat kerja kita saat ini, ketahuilah bahwa di situlah Tuhan menitipkan rezeki kita, dan di situ pulalah Tuhan mercayai kita bahwa value kita akan lebih bernilai. Atau misalnya kita gagal membangun hubungan yang serius dengan seseorang yang menurut kita baik, kita tidak sepenuhnya gagal juga. Mungkin kegagalan kita akan membuat kita memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri, dan memantaskannya. Mungkin juga kita gagal diterima disekolah impian kita atau bahwa gagal diterima sekolah cadangan kita, lagi-lagi kita diberikan kesempatan untuk memantaskan diri. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas kita.
Sekali lagi, manusia tidak pernah dihadapkan pada kondisi seratus persen gagal. Manusia hanya diberikan kesempatan untuk berbuat lebih dan berpikir lebih jauh.
Selamat sore dan selamat menunggu berbuka.
Terinspirasi dari catatan seorang teman,
(Fikriyah Winata)
Senin, 06 Juli 2015
Dari kelas lab audit, sampai D'cost Rawamangun
Gak kerasa udah masuk hari ke 19 bulan Ramadhan di 2015 Masehi ini. Hari dimana yang namanya Hari Raya Idul Fitri udah tinggal menghitung jari. Yaa, sebentar lagi terminal sesak dengan penumpang dari dalam maupun luar kota, bandara jadi sumpek, dan stasiun tak ubahnya seperti lautan manusia. Hari dimana sebentar lagi Jakarta sepi karena ditinggal mudik penduduknya. Hari dimana Jakarta gak macet. Hari dimana para bocah berasa jadi bos, karena kerja kagak, dapet duit iya. Hari dimana orang-orang saling minta maaf, sambil nanya 'kapan nikah" Halah...
Ini sebenernya mau nyeritain apa? Hahaha...
Oke gaes, sekian lama gak temu kangen cerita serantal seruntul kayak semut disco, kali ini gw bakal ngablu lagi di blog kesayangan inih. Dari pada puasa gw cuma bengang bengong, ya mending gw tsurhat ajah. Gapapa lah ya, sekalian ngilangin suntuk.
So, sampai mau masuk hari kesepuluh terakhir puasa, udah berapa kali kalian diajakin atau ngadain bukber? Jangan sampe judulnya buka bersama, tapi datengnya sendirian ya. Wkwkwk
Jadi ceritanya kemaren itu kita buka bersama. Cie, buka bersama... Yang ngajak hidup bersama ada gak? *kemudian ditimpuk*
Yap, kemaren baru aja gw mengadakan buka bersama dengan temen-temen sekelas Lab Auditing semester kemarin yang bertempat di D'Cost Rawamangun, daerah Jakarta Timur deket terminal sinian dikit. Sekian lama kuliah sampe galau nungguin SK rektor turun udah bisa skripsi apa belom, baru kali ini gw ikutan buka puasa bersama ala anak kuliahan. Kok bisa? Ya bisalah. Wong kampus kita ajaib. Ketemu temen cuma saat-saat tertentu, itupun hanya 8x pertemuan alias 2 bulan saja.
Setelah hasil pengumuman UAS yang nilainya bikin pusing 10 keliling karena kebanyakan salahnya, kita (baca : grup alay) berinisiatif buat mengadakan buka puasa bersama. Hitung-hitung melepas rindu dan kaku, karena sudah lama tak bertemu. Huhuhu
Singkat cerita, kita yang awalnya bersepuluh tergabung dalam satu kesatuan tanah air kelas Lab Auditing yang dipelopori oleh dosen tercinta, gw dan teman-teman lainnya yang sudah sangat akrab dan dekat berkat Instant Messenger yang bernama Wasap, kemarin sore sepakat untuk melepas penat. Di suatu siang yang lekat dan jalanan yang padat, sedari jam 2 sudah bersiap-siap. Emang dasar rumah gw jauh, plus prediksi kedatangan kereta yang sering tidak akurat, maka gw antisipasi untuk datang tidak telat...
Alih-alih sampai tekape bisa langsung kebagian tempat, dari luar malah terlihat antrian yang sudah merayap. Well, setelah usaha kesana kesini cari alternatif lain.. akhirnya dengan bermodal nekat, gw minjem spanduk buat jadi alas beristirohat. Ya, spanduk KFC sodara-sodara...
![]() |
Yaaa walaupun kita harusnya ada sepuluh orang, tapi di situ masih teteup kurang empat karena yang dua itu adalah tamu tak diundang. Eh...
Akhirnya setelah berbuka puasa di lesehan ceria, kita masih harus menunggu antri lagi di tempat semula. Sambil menunggu, kita memilih berwudhu. Sambil mengantri shalat magrib atau sekedar mengetwit...
Emang dasar terlampaui sabar, sampe udah masuk waktu Isya pun belum tanda-tanda akan dapet antrian, kita masih tetap menunggu hingga mereka kelar. Setengah jam terlewati lagi...
Fix setengah delapan malam, kita baru dapet meja. Setelah duduk rapi di kursi, tiada aktivitas lain yang patut dikerjakan selain selfie. Duuh, berasa orang apalah-apalah. So, inilah kita dengan tampang kekusutannya...
Maybe some people going to coming, going to going, going to staying. But i'm hoping they're going to keep staying. Long last, guys! Semoga kekompakan selalu menyertai kita :')
Kamis, 18 Juni 2015
Hai
Secara logika, malam itu untuk tidur. Istirahat. Semua orang juga tahu. Tapi kenapa, pukul 3 atau 4 subuh, Ibu-Ibu rumah tangga sudah harus menyingkirkan selimut, lantas beranjak ke dapur, masak. Ngapain? Apa tidak bisa ditunda masaknya hingga pukul 7 nanti siang? Kayak kurang kerjaan. Juga malam-malam, ada banyak yang menghabiskan waktu untuk shalat, mengaji. Ngapain begadang? Nanti besok siang jadi mengantuk, tidak produktif bagaimana?
Secara logika, manusia itu membutuhkan makan. Asupan energi. Dalam buku2 medis disebutkan demikian. Lantas terbentuklah ritmenya. Makan pagi, makan siang, dan makan malam. Tapi kenapa, tiba-tiba sepanjang hari, jangankan makan, minum pun tak boleh? Belum lagi, lihatlah, anak-anak usia SD, SMP, juga harus melakukannya? Apa tidak kasihan, toh? Apa tidak tega? Masa' anak kecil disuruh jangan makan dan minum. Ini sungguh terlalu dan tidak logis. Yang makan banyak saja belum tentu produktif, ini malah tidak makan.
Perintah puasa sebulan penuh selama Ramadhan adalah salah-satu ibadah yang silahkan gunakan logika, maka kalian bisa mendebatnya dari ujung ke ujung. Apalagi buat yang memang "rewel" suka mendebat. Ngapain sih kita harus menghabiskan waktu sebulan untuk berpuasa? Kenapa tidak seminggu saja? Kenapa tidak selang-seling? Lima hari puasa, dua hari libur? Bikin repot. Orang2 yang dagang makanan jadi terganggu. Orang2 yang mau cari makanan jadi terganggu. Yang mau hedon, juga terganggu.
Tetapi perintah berpuasa, tidak datang dengan "logika manusia".
Itu benar, hari ini, ada banyak bukti medis yang mendukung betapa baiknya berpuasa selama sebulan bagi tubuh manusia itu sendiri. Tapi saat perintah ini turun seribu tahun lebih dulu, manusia bahkan belum tahu apa itu HDL, LDL, saat perintah Ramadhan turun, manusia belum paham dengan clear alasan medisnya. Lantas kenapa mereka tetap berbondong2 bersedia melakukannya? Karena mereka yakin sekali, Tuhan tahu hal terbaik bagi mereka. Penciptanya tahu persis hal terbaik bagi tubuh mereka. Patuh.
Ada yang tidak patuh? Tentu saja ada, banyak.
Dan Allah tahu persis tabiat manusia tidak patuh, itulah kenapa, perintah ini diturunkan dengan kalimat, "Hai orang2 yang beriman". Tidak menggunakan kalimat, "Hai orang2 yang berlogika". Kata kuncinya di kata "iman". Situ tidak beriman, maka tidak dipanggil "Hai". Jadi situ tidak perlulah rusuh tidak suka, rusuh keberatan. Tidak ada pemaksaan. Sampeyan tidak yakin, tidak masalah. Allah tidak akan mengirim petir ke rumah yang menolak perintah ini.
Tapi saat kita bicara tentang "iman", maka lihatlah, anak2 kecil usia lima tahun, ternyata bisa menyelesaikan ibadah puasa selama 30 hari. Masih kecil sekali, Nak, ringkih badanmu, tapi kamu berhasil menyelesaikannya. Orang tua usia 70, 80 bahkan lebih lagi, juga berhasil menyelesaikannya dengan paripurna. Padahal sudah renta, sakit-sakitan pula. Juga tidak terhitung yang sedang menderita penyakit tertentu, mereka juga berhasil melakukannya. Dengan antusias dan penuh rasa senang. Dengan suka cita dan kemenangan.
Ramadhan adalah ibadah panggilan "Hai". Jika kita tidak terpanggil, maka meskipun sehat wal'afiat, usia juga sedang segar bugar, kita tidak akan melaksanakannya. Kalaupun melaksanakan, hanya jadi beban, hanya karena baiklah, setiap tahun juga sudah melakukannya. Ramadhan hanya tiba di kulit luar saja, tidak mampir hingga ke dalam hati.
-Darwis Tere Liye
Semangat Berpuasa!
Semoga hati-hati kita selalu terpanggil untuk sapaan Allah atas nama orang beriman.
Aamiin YRA
Aamiin YRA
Datang
Kalau kamu datang,
aku berjanji tidak akan bertanya kenapa baru sekarang
Kalau kamu datang,
aku berjanji tidak akan membuatmu berdiri di depan pintu terlalu lama
Kalau kamu datang,
aku berjanji tidak akan bertanya, hati mana saja yang sudah kau lewati untuk sampai di sini
Karena dengan langkahmu, aku terbangun
dari mati suri yang ku nina-bobokan sendiri
Kalau kamu datang, tolong jangan pergi
Aku lelah menjaga pintu
Kalau kamu datang
Aku berani sumpah,
Aku tenang.
Perempuan Perasa
Adalah denyut nadi yang berdetak terlalu cepat
Seperti roda sepeda yang dikayuh saat petir bergemuruh
Adalah panas terik yang menguasai langit siang
Seperti memasuki ruang hampa udara, tiada berongga
Adalah lampu bohlam yang nyalanya tidak terlalu terang
Seperti redup bulan dalam hamparan bintang dan murungnya malam
Dan adalah aku,
Aku yang cinta, namun tak pernah mau mengakuinya
Dan adalah aku,
Aku yang cemburu, tapi berkata baik-baik saja
Dan adalah aku,
Aku yang patah hati, lalu melebih-lebihkan sakitnya
Ya,
Aku terlalu perempuan
Selasa, 16 Juni 2015
Tak Lagi Sama
"Mengejamu kini tak lagi sama; aku tak ubahnya membaca kitab kuning tiada isyarat harakat. Mereka-reka fattah, kasrah, dammah. Seperti semaphore tanpa bendera. Kompas tak berutara."
Mengejamu kini tak lagi sama; aku tak ubahnya memandang langit-langit kamar tak bersuara. Mendangak ke atas melewatkan berbagai lamunan yang melintas dalam benak, menerka suara lirih decakan cicak.
Mengejamu kini tak lagi sama; aku tak ubahnya berlari dalam deras tangis hujan, kemudian menyusurinya. Berdiam takzim mencari jalan kering, mencari pelangi dan penantian matahari.
Mengejamu kini tak lama sama; aku tak ubahnya melawan arus laut yang menuju pantai. Mencari karang kokoh penampik ombak. Menyusuri pasir putih dengan kaki telanjang.
Mengejamu kini tak lagi sama; aku tak ubahnya mendaki Mahameru. Terseok beribu langkah yang mengaduh. Memasuki belantara padang sauna yang gersang. Menghalau batu besar dan jurang nan terjal.
Dan kini aku tahu,
Mengejamu tak lagi sama,
Tak akan (lagi) sama.
Mengejamu kini tak lagi sama; aku tak ubahnya memandang langit-langit kamar tak bersuara. Mendangak ke atas melewatkan berbagai lamunan yang melintas dalam benak, menerka suara lirih decakan cicak.
Mengejamu kini tak lagi sama; aku tak ubahnya berlari dalam deras tangis hujan, kemudian menyusurinya. Berdiam takzim mencari jalan kering, mencari pelangi dan penantian matahari.
Mengejamu kini tak lama sama; aku tak ubahnya melawan arus laut yang menuju pantai. Mencari karang kokoh penampik ombak. Menyusuri pasir putih dengan kaki telanjang.
Mengejamu kini tak lagi sama; aku tak ubahnya mendaki Mahameru. Terseok beribu langkah yang mengaduh. Memasuki belantara padang sauna yang gersang. Menghalau batu besar dan jurang nan terjal.
Dan kini aku tahu,
Mengejamu tak lagi sama,
Tak akan (lagi) sama.
Senin, 15 Juni 2015
SAAT KENYATAAN TAK SESUAI IMPIAN
"Apa
Yang Harus Dilakukan Saat Kenyataan Tidak Sesuai Dengan Impian?"
Banyak orang yang merasa frustasi karena kenyataan mereka tidak sesuai dengan impian. Sebagai contoh, ada seorang anak yang ingin kuliah di Universitas A, tapi nyatanya biaya tidak mencukupi. Atau, mereka yg merantau ke kota besar, bermimpi ingin mendapatkan pekerjaan berkelas nasional bahkan internasional, tapi nyatanya yang didapatkan hanyalah pekerjaan biasa-biasa saja & apa adanya. Ada juga seorang pengusaha, yg mungkin mengharapkan kenaikan profit 10 kali, malah mengalami kebangkrutan.
Apa yang kita harapkan, kadang memang tidak sesuai dengan kenyataan. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Berikut adalah 3 langkah atau tips yang bisa Anda lakukan saat mimpi tidak sesuai dengan kenyataan:
1. Bertindaklah selalu secara FLEKSIBEL dan DINAMIS
Jika Anda betul-betul ingin menggapai kesuksesan, maka diperlukan “kesiapan” untuk bisa bertindak secara fleksibel dan dinamis terhadap setiap perubahan yang terjadi.
Sekarang, akan dibuat sebuah analogi sederhana...
Saat ada badai atau angin topan yang besar, tidak jarang kita melihat pohon yang memiliki batang yang sangat besar tumbang. Apa sebabnya? Karena mereka tidak kuat menahan beban yang diterima. Namun coba tengoklah bambu. Karena batangnya yang lentur, maka bambu bisa fleksibel bergerak ke segala arah, dan jarang tumbang. Nah, begitu pun dengan kita! Jika kita bertindak dan berpikir dinamis dan juga fleksibel, maka kita akan lebih tahan dalam menghadapi tantangan dan perubahan serta masalah yang datang.
2. Berpikirlah bahwa INILAH yang terbaik untuk kita
Saat kenyataan tidak sesuai dengan impian, percayalah bahwa inilah yang terbaik untuk kita. Kita tidak pernah tahu skenario yang telah ditetapkan-Nya. Karena segala sesuatu yang menurut logika kita baik, bisa jadi justru sebaliknya di mata Tuhan. Berpikirlah selalu positif atas apapun yang terjadi pada diri Anda. Jangan biarkan satu kegagalan membuat Anda kecewa, apalagi sampai frustasi dan berlarut-larut.
Anda tahu apa yang harus dilakukan jika ada satu mimpi atau keinginan yang tidak kesampaian? Terbiasalah mengatakan:
"Sudahlah, kamu tidak perlu kecewa, don't ask me why, it is GOOD for you!
Sekarang kamu simak baik-baik, Tuhan akan menggantinya dengan YANG LEBIH BAIK! Tuhan tau kamu orang yang baik & bijaksana. Hidupmu penuh dengan kelimpahan, dan kamu memang dilahirkan untuk selalu jadi pemenang!"
Biasakan mengatakannya di depan cermin dengan penuh keyakinan.
Apa yang dilakukan di atas itu adalah 'afirmasi'. Afirmasi adalah kata-kata positif yang diucapkan berulang-ulang & diyakini untuk membentuk citra postif untuk mengurangi sikap-sikap negatif dalam diri kita. Kata-kata afirmasi ini bisa kita buat/rancang sendiri, dan lalu bisa diucapkan secara verbal atau dalam hati.
Menurut ahli Hynotherapy, afirmasi itu akan 'terekam' oleh alam bawah sadar kita. Dan jika terus-menerus diucapkan & dengan penuh keyakinan, maka kita SEDANG atau AKAN menjadi seperti itu adanya, yang kita ucapkan! Dengan kata lain, afirmasi itu sama seperti DO'A.
3. Tetap Siapkan MENTAL PEMENANG
Saat kita mengalami kegagalan, lebih baik instropeksi diri daripada menyalahkan takdir. Siapa tahu, kita memang belum siap jadi pemenang. Bisa jadi kesuksesan hanya akan membuat kita menjadi sombong, dan karena saking sayangnya Tuhan kepada kita, Ia tidak mau hamba-Nya berbuat dosa (sombong). Setiap kemenangan itu lebih baik dirintis dari setiap peluh kita. Akan lebih baik jika kemenangan itu kita dapatkan setahap demi setahap. Banyak orang sukses, tapi kemudian mereka terjatuh. Ada yang bangkit lagi, ada yang tidak. Liku hidup setiap manusia memang tidak sama. Tapi ingat, kesempatan untuk menang itu selalu terbuka bagi siapa saja, tanpa terkecuali.
Rejeki dan kemenangan itu sungguh tidak terkira banyaknya dari Allah, masih banyak yang menggantung di langit! Sekarang tinggal bagaimana cara Anda ;
1. Apakah mau meraihnya? atau
2. Mengharapkan turun dengan sendirinya?
Kita semua tahu bahwa yang namanya kemenangan itu seringkali dimiliki oleh mereka yang “tdk pernah berhenti berusaha”
"KESEMPATAN SEKECIL APAPUN ITU MENUNJUKKAN MASIH ADANYA HARAPAN"
Selamat meraih mimpi!
Salam sukses :')
Banyak orang yang merasa frustasi karena kenyataan mereka tidak sesuai dengan impian. Sebagai contoh, ada seorang anak yang ingin kuliah di Universitas A, tapi nyatanya biaya tidak mencukupi. Atau, mereka yg merantau ke kota besar, bermimpi ingin mendapatkan pekerjaan berkelas nasional bahkan internasional, tapi nyatanya yang didapatkan hanyalah pekerjaan biasa-biasa saja & apa adanya. Ada juga seorang pengusaha, yg mungkin mengharapkan kenaikan profit 10 kali, malah mengalami kebangkrutan.
Apa yang kita harapkan, kadang memang tidak sesuai dengan kenyataan. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Berikut adalah 3 langkah atau tips yang bisa Anda lakukan saat mimpi tidak sesuai dengan kenyataan:
1. Bertindaklah selalu secara FLEKSIBEL dan DINAMIS
Jika Anda betul-betul ingin menggapai kesuksesan, maka diperlukan “kesiapan” untuk bisa bertindak secara fleksibel dan dinamis terhadap setiap perubahan yang terjadi.
Sekarang, akan dibuat sebuah analogi sederhana...
Saat ada badai atau angin topan yang besar, tidak jarang kita melihat pohon yang memiliki batang yang sangat besar tumbang. Apa sebabnya? Karena mereka tidak kuat menahan beban yang diterima. Namun coba tengoklah bambu. Karena batangnya yang lentur, maka bambu bisa fleksibel bergerak ke segala arah, dan jarang tumbang. Nah, begitu pun dengan kita! Jika kita bertindak dan berpikir dinamis dan juga fleksibel, maka kita akan lebih tahan dalam menghadapi tantangan dan perubahan serta masalah yang datang.
2. Berpikirlah bahwa INILAH yang terbaik untuk kita
Saat kenyataan tidak sesuai dengan impian, percayalah bahwa inilah yang terbaik untuk kita. Kita tidak pernah tahu skenario yang telah ditetapkan-Nya. Karena segala sesuatu yang menurut logika kita baik, bisa jadi justru sebaliknya di mata Tuhan. Berpikirlah selalu positif atas apapun yang terjadi pada diri Anda. Jangan biarkan satu kegagalan membuat Anda kecewa, apalagi sampai frustasi dan berlarut-larut.
Anda tahu apa yang harus dilakukan jika ada satu mimpi atau keinginan yang tidak kesampaian? Terbiasalah mengatakan:
"Sudahlah, kamu tidak perlu kecewa, don't ask me why, it is GOOD for you!
Sekarang kamu simak baik-baik, Tuhan akan menggantinya dengan YANG LEBIH BAIK! Tuhan tau kamu orang yang baik & bijaksana. Hidupmu penuh dengan kelimpahan, dan kamu memang dilahirkan untuk selalu jadi pemenang!"
Biasakan mengatakannya di depan cermin dengan penuh keyakinan.
Apa yang dilakukan di atas itu adalah 'afirmasi'. Afirmasi adalah kata-kata positif yang diucapkan berulang-ulang & diyakini untuk membentuk citra postif untuk mengurangi sikap-sikap negatif dalam diri kita. Kata-kata afirmasi ini bisa kita buat/rancang sendiri, dan lalu bisa diucapkan secara verbal atau dalam hati.
Menurut ahli Hynotherapy, afirmasi itu akan 'terekam' oleh alam bawah sadar kita. Dan jika terus-menerus diucapkan & dengan penuh keyakinan, maka kita SEDANG atau AKAN menjadi seperti itu adanya, yang kita ucapkan! Dengan kata lain, afirmasi itu sama seperti DO'A.
3. Tetap Siapkan MENTAL PEMENANG
Saat kita mengalami kegagalan, lebih baik instropeksi diri daripada menyalahkan takdir. Siapa tahu, kita memang belum siap jadi pemenang. Bisa jadi kesuksesan hanya akan membuat kita menjadi sombong, dan karena saking sayangnya Tuhan kepada kita, Ia tidak mau hamba-Nya berbuat dosa (sombong). Setiap kemenangan itu lebih baik dirintis dari setiap peluh kita. Akan lebih baik jika kemenangan itu kita dapatkan setahap demi setahap. Banyak orang sukses, tapi kemudian mereka terjatuh. Ada yang bangkit lagi, ada yang tidak. Liku hidup setiap manusia memang tidak sama. Tapi ingat, kesempatan untuk menang itu selalu terbuka bagi siapa saja, tanpa terkecuali.
Rejeki dan kemenangan itu sungguh tidak terkira banyaknya dari Allah, masih banyak yang menggantung di langit! Sekarang tinggal bagaimana cara Anda ;
1. Apakah mau meraihnya? atau
2. Mengharapkan turun dengan sendirinya?
Kita semua tahu bahwa yang namanya kemenangan itu seringkali dimiliki oleh mereka yang “tdk pernah berhenti berusaha”
"KESEMPATAN SEKECIL APAPUN ITU MENUNJUKKAN MASIH ADANYA HARAPAN"
Selamat meraih mimpi!
Salam sukses :')
Sabtu, 07 Februari 2015
WIS... UDA
Sebuah perjuangan dan asa yang bermuara pada satu titik yang diharapkan
Sebuah impian anak muda yang mempunyai cita-cita luar biasa
Sebuah momen yang selalu dinantikan setelah berlelah-lelah dan bersusah payah
WISUDA
Alhamdulillah,
Kamu sudah berhasil melewatinya
Kita sama-sama berangkat dari tempat yang sama, tapi kamu sudah berhasil mendapatkannya lebih dulu walaupun tujuan kita berbeda satu sama lain
Hebat! aku ikut bahagia atas kelulusanmu
Sedikit banyak aku belajar dari pengalaman dan kegigihanmu
Selamat Sekar
Selamat Young Dentist!
Do'akan juga agar kami segera lulus dari universitas masing-masing
Depok, 7 Februari 2015
Sebuah impian anak muda yang mempunyai cita-cita luar biasa
Sebuah momen yang selalu dinantikan setelah berlelah-lelah dan bersusah payah
WISUDA
Alhamdulillah,
Kamu sudah berhasil melewatinya
Kita sama-sama berangkat dari tempat yang sama, tapi kamu sudah berhasil mendapatkannya lebih dulu walaupun tujuan kita berbeda satu sama lain
Hebat! aku ikut bahagia atas kelulusanmu
Sedikit banyak aku belajar dari pengalaman dan kegigihanmu
Selamat Sekar
Selamat Young Dentist!
Do'akan juga agar kami segera lulus dari universitas masing-masing
Depok, 7 Februari 2015
Senin, 12 Januari 2015
Langganan:
Komentar (Atom)



































































